Rabu, 03 Juni 2009

Perkara Baru dalam Sorotan Syariah

Penulis : Ustadz Muslim Abu Ishaq Al Atsari

Ibadah itu pada asalnya haram untuk dikerjakan bila tidak ada dalil yang memerintahkannya. Inilah kaidah yang harus dipegang oleh setiap muslim sehingga tidak bermudah-mudah membuat amalan yang tidak ada perintahnya baik dari Allah maupun Rasulullah.

Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam bertutur dalam haditsnya yang agung :
“Siapa yang mengada-adakan perkara baru dalam agama kami yang hal tersebut bukan dari agama ini maka perkara itu ditolak”.

Hadits yang dibawakan oleh istri beliau yang mulia Ummul Mukminin Aisyah radliallahu anha ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah dalam shahihnya, pada kitab Ash Shulh, bab Idzaashthalahuu `ala shulhi jawrin fash shulhu marduud no. 2697 dan diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah dalam shahihnya, pada kitab Al Aqdliyyah yang diberi judul bab oleh Imam Nawawi rahimahullah selaku pensyarah (yang memberi penjelasan) terhadap hadits-hadits dalam Shahih Muslim, bab Naqdlul ahkam al bathilah wa raddu muhdatsaati umuur, no. 1718. Imam Muslim rahimahullah juga membawakan lafaz yang lain dari hadits di atas, yaitu :
“Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalannya itu tertolak”

Hadits ini juga diriwayatkan oleh sebagian imam ahli hadits dalam kitab-kitab mereka. Dan kami mencukupkan takhrijnya pada shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim).

Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini merupakan kaidah yang agung dari kaidah-kaidah Islam”. Beliau menambahkan lagi: “Hadits ini termasuk hadits yang sepatutnya dihafalkan dan digunakan dalam membatilkan seluruh kemungkaran dan seharusnya hadits ini disebarluaskan untuk diambil sebagai dalil”. ( Syarah Shahih Muslim)

Al Hafidz Ibnu Hajar Al Atsqalani rahimahullah setelah membawakan hadits ini dalam syarahnya terhadap kitab Shahih Bukhari, beliau berkomentar : “Hadits ini terhitung sebagai pokok dari pokok-pokok Islam dan satu kaidah dari kaidah-kaidah agama”. (Fathul Bari)

Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah dalam kitabnya Jami`ul Ulum wal Hikam juga memuji kedudukan hadits ini, beliau berkata : “Hadits ini merupakan pokok yang agung dari pokok-pokok Islam. Dia seperti timbangan bagi amalan-amalan dalam dzahirnya sebagaimana hadits: (amal itu tergantung pada niatnya) merupakan timbangan bagi amalan-amalan dalam batinnya. Maka setiap amalan yang tidak diniatkan untuk mendapatkan wajah Allah tidaklah bagi pelakunya mendapatkan pahala atas amalannya itu, demikian pula setiap amalan yang tidak ada padanya perintah dari Allah dan rasulnya maka amalan itu tidak diterima dari pelakunya. (Jami`ul Ulum wal Hikam, 1/176)

Agama Ini telah Sempurna
Allah subhanahu wa ta`ala berfirman :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Aku cukupkan bagi kalian nikmat-Ku dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian”. (QS. Al Maidah : 3)

Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat di atas : “Hal ini merupakan kenikmatan Allah ta`ala yang terbesar bagi umat ini, di mana Allah ta`ala telah menyempurnakan untuk mereka agama mereka, hingga mereka tidak membutuhkan agama yang lainnya, tidak pula butuh kepada nabi yang selain nabi mereka shallallahu ‘alaihi wasallam, karena itulah Allah ta`ala menjadikan beliau sebagai penutup para nabi dan Dia mengutus beliau kepada manusia dan jin. Tidak ada sesuatu yang halal melainkan apa yang beliau halalkan dan tidak ada yang haram melainkan apa yang beliau haramkan,. Tidak ada agama kecuali apa yang beliau syariatkan. Segala sesuatu yang beliau kabarkan maka kabar itu benar adanya dan jujur, tidak ada kedustaan dan penyelisihan di dalamnya” (Tafsir Ibnu Katsir 2/14)

Dengan keadaan agama yang telah sempurna ini dalam setiap sisinya maka seseorang tidak perlu lagi mengadakan perkara baru yang tidak pernah dikenal sebelumnya, apakah berupa penambahan ataupun pengurangan dari apa yang disampaikan dan diajarkan oleh beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan dicontohkan serta diamalkan oleh salaf (pendahulu) kita yang shalih dari kalangan shahabat, tabi`in, atbaut tabi`in dan para imam yang memberikan bimbingan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri juga telah memberi peringatan dari perkara-perkara baru yang disandarkan kepada agama, sebagaimana dalam hadits Abdullah ibnu Mas`ud radliallahu anhu beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda :
“Berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru, karena sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap perkara yang diada-adakan itu bid`ah dan setiap bid`ah itu adalah kesesatan”. (HR. Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah no. 25 dan hadits ini shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Albani rahimahullah)

Hadits yang semakna dengan ini datang pula dari shahabat Al Irbadh Ibnu Sariyah radliallahu anhu.

Bila kita menemui seseorang yang mengadakan perkara baru dalam agama ini dengan keterangan yang telah kita dapatkan di atas maka perkara itu batil, tertolak dan tidak teranggap sama sekali berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Siapa yang mengada-adakan perkara baru dalam agama kami ini apa yang bukan bagian darinya maka perkara itu tertolak”.

Kata Imam Nawawi rahimahullah : “Hadits ini jelas sekali dalam membantah setiap bid`ah dan perkara yang diada-adakan dalam agama”. (Syarah Muslim, 12/16)

Namun bila ada pelaku bid`ah dihadapkan padanya hadits ini, kemudian dia mengatakan bahwa bid`ah tersebut bukanlah dia yang mengada-adakan akan tetapi dia hanya melakukan apa yang telah diperbuat oleh orang-orang sebelumnya sehingga ancaman hadits di atas tidak mengenai pada dirinya. Maka terhadap orang seperti ini disampaikan padanya hadits :
“Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalannya itu tertolak”.

Dengan hadits ini akan membantah apa yang ada pada orang tersebut dan akan menolak setiap amalan yang diada-adakan tanpa dasar syar`i. Sama saja apakah pelakunya yang membuat bid`ah tersebut adalah dia atau dia hanya sekedar melakukan bid`ah yang telah dilakukan oleh orang-orang sebelumnya. Demikian penerangan ini juga disebutkan oleh Imam Nawawi dengan maknanya dalam kitab beliau Syarah Muslim (12/16) ketika menjelaskan hadits ini.

Al Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata : “Dalam sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
ada isyarat bahwasanya amalan-amalan yang dilakukan seharusnya di bawah hukum syariah di mana hukum syariah menjadi pemutus baginya apakah amalan itu diperintahkan atau dilarang. Sehingga siapa yang amalannya berjalan di bawah hukum syar`i, cocok dengan hukum syar`i maka amalan itu diterima, sebaliknya bila amalan itu keluar dari hukum syar`i maka amalan itu tertolak. (”Jami`ul Ulum wal Hikam”, 1/177)

Pembagian Amalan
Amalan bila ditinjau dari pembagiannya terbagi menjadi dua yaitu ibadah dan mu`ammalah .

Ibadah
Adapun amalan ibadah maka kaidah yang ada dalam pelaksanaannya : “Ibadah itu pada asalnya haram untuk dikerjakan bila tidak ada dalil yang mensyariatkanya (memerintahkannya)”. Akan tetapi dari sisi penerimaan atau penolakan amalan ibadah tersebut maka perlu memperhatikan beberapa hal berikut ini:
1. Suatu amalan merupakan ibadah pada satu keadaan namun tidak teranggap pada keadaan yang lainnya sebagai ibadah. Misalnya :
- Berdiri ketika shalat. Hal ini merupakan ibadah yang disyariatkan, namun bila ada orang yang bernadzar untuk berdiri di luar shalat dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta`ala tidaklah dibolehkan karena tidak ada dalil yang menunjukkan pensyariatannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat seorang laki-laki berdiri di bawah terik matahari karena nadzar yang hendak ia tunaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta`ala kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dengan serta merta memerintahkan orang itu untuk duduk dan tidak berjemur di bawah terik matahari (sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Bukhari no. 6704)
- Thawaf yang disyariatkan pelaksanaannya di baitullah namun ada di antara manusia yang melaksanakannya di selain baitullah seperti di kuburan wali atau yang lainnya.
- Pelaksanaan haji di luar bulan haji
- Puasa Ramadhan di luar bulan Ramadhan atau ketika hari raya padahal ada nash yang menunjukkan tidak bolehnya berpuasa pada hari raya tersebut.
- Dan yang semisal dengan perkara-perkara yang telah kami sebutkan di atas.

2. Suatu amalan yang sama sekali tidak ada tuntunannya dalam syariat. Misalnya :
- Beribadah di sisi Ka`bah dengan siulan, tepuk tangan dan telanjang
- Mendekatkan diri kepada Allah dengan mendengarkan musik/nyanyian dan minum khamar.
Maka amalan seperti ini batil, tidak diterima bahkan ini merupakan kebid`ahan yang pelakunya dikatakan oleh Allah ta`ala :
“Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang mensyariatkan bagi mereka dari agama ini apa yang Allah tidak mengizinkannya”. (QS. Asy Syuura : 21)

3. Menambah satu perkara atau lebih terhadap amalan yang disyariatkan. Amalan seperti ini jelas tertolak (akan tetapi dari sisi batal atau tidaknya ibadah tersebut maka perlu dilihat keadaannya). Misalnya :
- Ibadah shalat yang telah disyariatkan oleh Allah subhanahu wa ta`ala ditambah jumlah rakaatnya. Yang demikian ini membatalkan ibadah tersebut.
- Berwudhu dengan membasuh anggota wudhu lebih dari tiga kali. Yang demikian ini tidak membatalkan wudhu tersebut, namun pelakunya terjatuh pada sesuatu yang dibenci .

4. Mengurangi terhadap amalan yang disyariatkan. (Dari sisi batal atau tidaknya maka perlu dilihat dulu terhadap apa yang dikurangi dari ibadah tersebut).
- Shalat tanpa berwudhu sementara ia berhadats maka shalatnya itu batal karena wudhlu merupakan syarat sahnya shalat.
- Meninggalkan satu rukun dari rukun-rukun ibadah maka ibadah itu batal.
- Laki-laki yang meninggalkan shalat lima waktu secara berjamaah dan mengerjakannya sendirian, maka shalatnya itu tidaklah batal tapi shalatnya itu kurang nilainya dan ia berdosa karena meninggalkan kewajiban berjamaah

Muamalah
Pembicaraan tentang muamalah maka kaidah yang ada :
“Hukum asal muamalah itu boleh/halal untuk dikerjakan (selama tidak ada dalil yang melarangnya dan mengharamkannya”).
Adapun perkara-perkara yang dilarang dan diharamkan dalam muamalah ini bisa kita sebutkan sebagai berikut :
1. Bermuamalah untuk mengganti aturan syariat
Maka perkara ini tidak diragukan lagi kebatilannya dengan contoh mengganti hukum rajam bagi orang yang berzina dengan tebusan berupa benda. Hal ini pernah terjadi di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seorang pemuda yang belum menikah berzina dengan istri orang lain. Ayah si pemuda menyangka hukum yang harus ditimpakan pada putranya adalah rajam maka ia ingin mengganti hukum itu dengan memberi tebusan kepada suami si wanita tersebut berupa seratus ekor kambing berikut seorang budak perempuan. Lalu ia dan suami si wanita mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengadukan hal tersebut dan meminta diputuskan perkara mereka dengan apa yang ada dalam kitabullah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab permintaan mereka :
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh aku akan memutuskan perkara di antara kalian berdua dengan kitabullah. Kambing dan budak perempuan yang ingin kau jadikan tebusan itu ambil kembali, sedangkan hukum yang ditimpakan kepada putramu adalah dicambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama setahun”.
Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada salah seorang dari shahabatnya untuk mendatangi wanita yang diajak berzina oleh pemuda tersebut untuk meminta pengakuannya. Dan ternyata wanita itu mengakui perbuatan zina yang dilakukannya hingga ditimpakan padanya hukum rajam. (Sebagaimana disebutkan riwayatnya dalam hadits yang dikeluarkan Imam Bukhari dalam shahihnya, pada Kitabul Hudud no. 2695, 2696, demikian pula Imam Muslim dalam shahihnya no. 1697, 1698)

2. Bermuamalah dengan membuat akad/perjanjian yang dilarang oleh syariat.
• Akad yang tidak layak untuk diputuskan. Seperti melakukan akad nikah dengan wanita yang haram untuk dinikahi karena sepersusuan atau mengumpulkan dua wanita yang bersaudara sebagai istri.
• Akad yang hilang darinya satu syarat di mana syarat tersebut tidak bisa gugur dengan ridhanya kedua belah pihak . Seperti menikahi wanita yang sedang menjalani masa `iddah, nikah tanpa wali atau menikahi istri yang masih dalam naungan suaminya.
• Melakukan akad jual beli yang diharamkan Allah subhanahu wa ta`ala, seperti jual beli dengan cara riba, jual beli minuman keras, bangkai, babi dan sebagainya.
• Akad yang berakibat terdzaliminya salah satu dari dua belah pihak. Seperti seorang ayah menikahkan putrinya yang dewasa tanpa minta izin kepadanya. Maka akad ini tertolak ketika anak itu tidak ridha dan menuntut haknya namun bila ia ridha akad tersebut sah.

Faidah hadits
Faidah yang bisa kita ambil dari hadits ini, di antaranya :
• Batilnya perkara yang diada-adakan dalam agama
• Larangan terhadap satu perkara menunjukkan jeleknya perkara tersebut..
• Islam merupakan agama yang sempurna, tidak ada kekurangan di dalamnya dan tidak butuh koreksi dan protes terhadapnya.
• Perkara yang diada-adakan dalam agama ini adalah bid`ah dan setiap bid`ah itu sesat.
• Dengan hadits ini tertolaklah pembagian bid`ah menjadi bid`ah hasanah (bid`ah yang baik) dan bid`ah sayyiah (bid`ah yang jelek).
Seluruh akad yang dilarang oleh syariat adalah batil, demikian pula hasilnya karena apa yang dibangun di atas kebatilan maka ia batil pula.

Wallahu ta`ala a`lam bishshawwab.

Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=28

Sumber: http://darussunnah.or.id/artikel-islam/al-hadits/perkara-baru-dalam-sorotan-syariah/

Haramnya Isbal Walau Tanpa Kesombongan

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin

Wahai kaum muslimin. Dan termasuk pakaian yang haram, yang khusus diharamkan atas laki-laki yaitu berpakaian yang melampaui mata kaki baik celana, baju atau misdah atau selainnya. Karena sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:

“Sarung yang lebih rendah dari mata kaki tempatnya dineraka” (HR. Al Bukhari)

Ibnu ‘Umar Radhiyallahu’anhu berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak mengatakan sarung kecuali yang dimaksud adalah pakaian.

Maka tidak halal bagi laki-laki menurunkan pakaiannya sedikit dibawah mata kaki karena Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengancamnya dengan neraka. Dan tidak ada ancaman neraka kecuali atas perbuatan haram bahkan tidak ada ancaman dengan neraka kecuali atas macam dosa besar. Sebagian orang menyangka bahwa hadits ini mengenai orang yang menurunkan pakaiannya dengan ‘Huyala’ Dan huyala adalah bila seseorang menghayalkan dirinya berada dikedudukan tinggi, merasa angkuh dan ujub. Aku katakan: sebagian orang menyangka bahwa hadits ini tentang yang menurunkan pakaiannya karena huyala. Karena Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Dan barangsiapa yang menurunkan pakaiannya karena huyala, Allah tidak akan memandangnya”

Maka penyangka ini ingin membawa yang hukumnya mutlak itu (umum) atas yang hukumnya terikat ini (khusus) akan tetapi ini tidaklah benar.

Pertama: Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memisahkan antara keduanya. Dari Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu’anhu katanya: Aku mendengar Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Kain seorang muslim adalah pertengahan betis, tidak mengapa bila diantara pertengahannya dengan mata kaki dan yang dibawah mata kaki maka dia dineraka. Dan barangsiapa yang menjururkannya karena sombong maka Allah tidak akan melihatnya dihari kiamat” (HR. Malik, Abu Dawud, An Nasaa’i dengan sanad yang shahih)

Dihadits ini Rasulullah shallalahu’alaihi wa sallam membagi pakaian menjadi empat macam.

Pertama, sampai tengah betis dan ini pakaiannya seorang mu’min.

Kedua boleh, yaitu yang diantara tengah betis dengan mata kaki maka ini boleh, dan ini termasuk amalan sahabat radhiyallahu’anhum. Sebagaimana Abu Bakr radhiyallahu’anhu berkata: “Salah satu ujung pakaianku tergerai sehingga senantiasa kujaga.” Ini menunjukkan bahwa sarung Abu Bakr dibawah tengah betis yakni turun dari itu, kalau seandainya tidak sepeti itu kalau sampai menyentuh tanah tentu akan terbuka auratnya dan ini hal yang mustahil.

Adapun bagian yang ketiga, Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Dan yang lebih rendah dari itu yaitu dari mata kaki, maka dia dineraka.”

Adapun bagian yang keempat Rasulullah shallalahu’alaihi wa sallam bersabda: “Dan barangsiapa yang menjulurkan kainnya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya dihari kiamat.”

Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam membedakan antara dua bagian ini -bagian ketiga dan keempat- membedakan antara keduanya dengan dua ancaman.

Kedua: Ancaman pada dua hadits ini berbeda dan sebabnya berbeda, ancaman bagi yang menjulurkan kainnya dengan huyala (sombong) yakni Allah tidak akan melihat padanya dan ancaman bagi yang menurunkan sarungnya melampaui mata kaki yakni dimasukkan ke neraka. Dan siksaan ini merupakan juz’iyah, bagian dan siksaan yang pertama Allah tidak akan melihat padanya dan ini lebih besar dari siksa bagian tubuhnya dengan neraka adapun sebabnya berbeda juga yang satu menurunkannya dibawah mata kaki, yang kedua menjulurkannya dengan sombong dan ini lebih besar, oleh karena itu siksaannya lebih besar. Ulama ushul Fiqih mengatakan jika berbeda sebab dan hukum pada dua dalil maka yang satu tidak dibawa kepada pengertian lainnya.

Dan atas ini tidak halal bagi laki-laki menurunkan pakaiannya sedikit dibawah mata kaki baik berupa celana atua baju atau misdah (jas) atau selainnya. Jika dia lakukan maka balasannya bagian yang turun itu diadzab dengan neraka dan tidak halal menjulurkannya sedikit dengan sombong, jika ia lakukan maka balasannya yakni Allah tidak mau melihatnya di hari kiamat. Juga di shahih Muslim dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Tiga golongan, Allah tidak mengajak mereka bicara pada hari kiamat dan tidak mau Dia lihat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka adzab yang pedih. Tiga golongan, Allah tidak mengajak mereka bicara pada hari kiamat dan tidak mau Dia lihat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka adzab yang pedih. Tiga golongan, Allah tidak mengajak mereka bicara pada hari kiamat dan tidak mau Dia lihat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka adzab yang pedih.” Beliau shallallahu’alaihi wa sallam mengulanginya tiga kali.

Saking besar urusannya dan agar berhati-hati orang yang mendengarnya maka Abu Dzar berkata:

“Sungguh kecewa dan rugi mereka itu. Siapakah mereka wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: ‘Musbil’ (orang yang menjulurkan kainnya sampai dibawah mata kaki), ‘Al Mannan’ (Orang yang suka menyebut-nyebut pemberiannya) dan orang yang menjual dagangannya dengan sumpah palsu.”

Seorang pemuda Anshar masuk menemui ‘Umar radhiyallahu’anhu memujinya dihadapan manusia pada hari ketika beliau radhiyallahu’anhu ditusuk, ketika pemuda itu berpaling tiba-tiba sarungnya menyentuh tanah, kemudian beliau berkata: Panggil kembali pemuda itu, maka mereka memanggilnya kembali kepada ‘Umar. Kata beliau: “Wahai anak saudaraku, naikkan pakaianmu karena itu akan membuat pakaianmu lebih awet dan lebih bertaqwa kepada Rabbmu.”

Disini beliau menyebutkan dua faedah agung didalammengangkat pakaian.
Pertama: Awetnya pakaian karena bagian bawahnya tidak mengenai tanah.
Kedua: Taqwa kepada Allah ‘azza wa jalla dan pakaian taqwa itu jauh lebih baik.

Orang dengan anggapannya terkadang berkata, saya tidak peduli bagian bawah pakaianku mengenai tanah. Maka jawabannya kita katakan: Bila kamu tak peduli hal itu, apakah juga tak peduli jika kamu menyepelekan taqwa kepada Allah. Kamu gunakan nikmat-Nya untuk memaksiati-Nya. Maka nikmat berubah menjadi siksa dan kesenangan menjadi kepedihan.

Wahai kaum muslimin. Bertaqwalah kepada Allah, dan gunakan nikmat-Nya untuk ketaatan pada-Nya, jaga peraturan-Nya, tegakkan kewajiban-kewajiban yang diberikan-Nya dan ibadahilah Dia dengan sebenar-benar peribadahan. Dan ketahuilah bahwa kalian akan menemui-Nya. Beri kabar gembira kaum mu’minin. Demikian perkataanku dan aku mohon ampunan untukku dan untuk kalian serta seluruh kaum muslimin dari dosa-dosa. Dan minta ampunlah kepada-Nya sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Segala puji hanya milik Allah, pujian yang banyak, baik dan berbarokah didalamnya. Dan aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan hanya Allah semata tiada sekutu bagi-Nya. Persaksian yang kami mengharapkan dengannya kebahagiaan dihari perjumpaan-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad hamba dan utusan-Nya semoga shalawat Allah terlimpahkan atasnya, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan siapa saja yang mengikuti mereka dengan benar serta salam yang melimpah.
Kemudian dari pada itu.

Wahai saudara-saudara yang mulia. Apa yang tersirat pada pakaian-pakaian jadi, yang sampai kepada kita dari negeri-negeri kafir ini, merupakan ungkapan-ungkapan yang amat buruk, aku tidak sanggup merangkumnya diatas mimbar ini. [Terkadang pula] ditulis dengan huruf-huruf latin agar orang tertipu olehnya sampai tidak dipahami kebanyakan mereka yang wajib bagi kita adalah memboikot pakaian-pakaian ini dan menjauhkannya. Karena apa yang dibawa oleh ungkapan-ungkapan buruk ini berupa perusakan akhlak terkadang juga membawa maslahah yang berkaitan dengan aqidah, terkadang pula ada padanya pujian untuk agama nasrani, semoga Allah memerangi mereka, maka bagaimanakah mereka bisa berpaling. Adapun kaum muslimin, segala puji milik Allah dalam keadaan bangkit mereka memiliki pemuda-pemuda yang tergugah untuk masalah-masalah ini, mereka mengetahuinya dan mengetahui pula makar orang kafir, semoga Allah menjadikan makar mereka (orang kafir) bumerang atas mereka, mencerai-beraikan persekutuan mereka dan memecah belah persatuan mereka.

Ya Allah kami memohon kepada-Mu dengan daya dan kekuatan-Mu wahai Rabb semesta alam. Agar Engkau memecah belah persatuan orang-orang kafir dan engkau cerai beraikan persekutuan mereka dan engkau matikan mereka dan engkau timpakan rasa gentar kepada mereka dan engkau tegakkan daulah atas mereka wahai Rabb semesta alam.

Ya Allah tolonglah kaum muslimin atas mereka disemua tempat. Ya Allah persiapkanlah para penolong agamamu dari kalangan kaum muslimin. Ya Allah hinakanlah musuh-musuh kaum muslimin. Ya Allah jadikanlah tipudaya mereka sebagai bumerang atas mereka.

Ya Allah sesungguhnya mereka sedang membuat tipu daya, maka kami mohon kepadaMu ya Allah agar Engkau membuat tipudaya lebih besar dari tipu daya mereka dan Engkau binasakan mereka dan Engkau jadikan malapetaka sesama mereka wahai Rabb semesta alam.

Ya Allah turunkanlah dinegeri-negeri mereka bencana dan rasa takut, rasa lapar dan gentar hingga mereka berpulang kepada Allah ‘azza wa jalla. Sampai mereka sadar bahwa dunia mereka tidak akan mengekalkan mereka dalam keadaan beriman dan mengambil pelajaran wahai Rabb semesta alam.

Ya Allah kami pasrahkan kepada-Mu leher-leher mereka dan kami berlindung dari keburukan mereka. Ya Allah sucikanlah negeri kami dari mereka dan dari tipu daya mereka dan dari kumpulan mereka wahai Rabb semesta alam.

Ketahuilah wahai kaum muslimin. Bahwa sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik jalan hidup adalah jalan hidup Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan (dalam urusan agama) dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.

Maka wajib bagi kalian wahai kaum muslimin untuk berjamaah (bersatu), Jama’ah adalah persatuan diatas kebenaran, atas kalian untuk bersatu diatas al Haq (kebenaran), jadilah hamba-hamba Allah yang menolong karena agama Allah, jadilah kalian bersaudara karena agama Allah, janganlah sebagian kalian mencela sebagian yang lain, janganlah sebagian kalian mengadu domba sebagian yang lain, jadilah saudara yang berkumpul karena Allah, bersaudara karena-Nya, mengharap dengan kasih sayang dan persaudaraan ini karunia dari Allah ‘azza wa jalla, mengharap dengannya pertolongan atas musuh-musuh kalian karena Allah berfirman didalam kitab-Nya:

“Dan janganlah kalian saling berbantah-bantahan sehingga kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan kalian. Dan bersabarlah sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar (Al Anfaal : 46)

Atas untuk kalian berjama’ah karena tangan Allah itu diatas jama’ah dan barangsiapa menyendiri akan menyendiri di neraka. Dan ketahuilah bahwa Allah memerintahkan kalian dengan perintah yang Dia memulainya dengan diri-Nya sendiri. Berfirman Dzat yang semulya-mulia pembicara lagi Maha Mengetahui:

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatNya bershalawat atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”

Semoga Allah menjadikan kalian orang-orang yang mendengar dan taat. Ya Allah berikanlah shalawat dan salam kepada hamba dan utusan-Mu Muhammad. Ya Allah karuniailah kami kecintaan kepadanya, mengikutinya lahir dan batin. Ya Allah wafatkanlah kami diatas agamanya. Ya Allah gabungkanlah kami didalam kelompoknya. Ya Allah beri kami minum dari air telaganya (kautsar). Ya Allah masukkanlah kami kedalam syafa’atnya. Ya Allah kumpulkanlah kami bersamanya disurga Na’im bersama orang-orang yang kau beri nikmat, bari kalangan para Nabi, Shiddiqin, Syuhada dan Shalihin. Ya Allah jangan Kau halangi kami dari itu semua karena buruknya amalan kami. Bermurah hatilah pada kami dan ampunilah dosa-dosa kami wahai dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan, wahai Dzat yang Maha Pengampun, wahai Dzat yang Maha Penyayang.

Ya Allah ridhailah para penggantinya yang terbimbing (Khulafaur Rasyidin), dan istri-istri beliau, ibu-ibunya kaum Mu’minin dan para sahabat seluruhnya serta para pengikut mereka dengan benar sampai hari pembalasan.

Ya Allah ridhailah kami bersama mereka dan perbaiki keadaan kami sebagaimana engkau telah memperbaiki keadaan mereka wahai Rabb semesta alam. Ya Allah tolonglah kaum muslimin yang berjuang di jalanmu di seluruh tempat. Ya Allah bersamalah mereka dan jangan murka atas mereka. Ya Allah muliakanlah mereka dengan agama-Mu dan muliakanlah agama-Mu dengan mereka wahai Rabb semesta alam

Ya Allah sempurnakanlah untuk saudara-saudara kami di Afganistan. Wahai Allah sempurnakanlah pertolongnmu untuk mereka, persatukanlah hati-hati mereka, gabungkanlah kalimat mereka di atas Al Haq (kebenaran). Lindungilah mereka dari musuh-musuh mereka wahai Rabb semesta alam.

Ya Allah Rabb kami berikanlah kami kebaikan didunia dan diakhirat dan selamatkan kami dari adzab api neraka.

Hamba-hamba Allah, sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil, kebaikan dan memberi kepada karib kerabat dan mencegah dari kekejian, kemungkaran dan aniaya. Menasehati kalian agar kalian senantiasa mengingat, tunaikanlah janji Allah apabila kalian berjanji dan janganlah kalian membatalkan sumpah setelah pengukuhannya padahal kalian telah menjadikan Allah sebagai jaminannya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian lakukan. Ingatlah Allah yang Maha Agung niscaya Dia akan mengingatmu dan bersyukurlah atas nikmat-nikmat-Nya niscaya Dia akan menambah untuk kalian. Sungguh mengingat Allah itu besar dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian perbuat.

[ Ditranskrip dari kaset cd khutbah Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa indonesia, diterbitkan oleh Tasjilat Al ‘Ilmi Yogyakarta, dengan beberapa pengeditan oleh Ahmad]

Sumber URL:

http://ashthy.wordpress.com/2008/10/22/haramnya-isbal-walaupun-tanpa-kesombongan/

Sumber: http://darussunnah.or.id/artikel-islam/fiqih/haramnya-isbal-walau-tanpa-kesombongan/

Fatwa Lajnah Da’imah (Dewan Tetap Arab Saudi) Seputar Bencana di Jalur Gaza

Segala puji hanyalah milik Allah Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi dan rasul yang paling mulia, nabi kita Muhammad dan kepada keluarga beliau beserta para shahabatnya dan ummatnya yang setia mengikutinya sampai akhir zaman. Wa ba’da;

Sesungguhnya Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’ (Dewan Tetap Untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa) di Kerajaan Saudi Arabia mengikuti (perkembangan yang terjadi) dengan penuh kegalauan dan kesedihan akan apa yang telah terjadi dan sedang terjadi yang menimpa saudara-saudara kita muslimin Palestina dan lebih khusus lagi di Jalur Gaza, dari angkara murka dan terbunuhnya anak-anak, kaum wanita dan orang-orang yang sudah renta, dan pelanggaran-pelanggaran terhadap kehormatan, rumah-rumah serta bangunan-bangunan yang dihancurkan dan pengusiran penduduk. Tidak diragukan lagi ini adalah kejahatan dan kedzaliman terhadap penduduk Palestina.

Dan dalam menghadapi peristiwa yang menyakitkan ini wajib atas ummat Islam berdiri satu barisan bersama saudara-saudara mereka di Palestina dan bahu membahu dengan mereka, ikut membela dan membantu mereka serta bersungguh-sungguh dalam menepis kedzaliman yang menimpa mereka dengan sebab dan sarana apa pun yang mungkin dilakukan sebagai wujud dari persaudaraan seagama dan seikatan iman.

Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara”. (Al Hujurat: 10) dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Orang-orang mukmin laki-laki dan orang-orang mukmin perempuan sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain”. (At-Taubah: 71) dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Seorang mukmin bagi mukmin yang lain adalah seperti sebuah bangunan yang saling menopang, lalu beliau menautkan antar jari-jemari (kedua tangannya)”. (Muttafaqun ‘Alaihi) dan beliau juga bersabda: “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal kasih sayang, kecintaan dan kelemah-lembutan diantara mereka adalah bagaikan satu tubuh, apabila ada satu anggotanya yang sakit maka seluruh tubuh juga merasakan sakit dan tidak bisa tidur”. (Muttafaqun ‘Alaihi) dan beliau juga bersabda: “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak mendzalimi saudaranya, tidak menipunya, tidak memperdayanya dan tidak meremehkannya”. (HR. Muslim)

Dan pembelaan bentuknya umum mencakup banyak aspek sesuai kemampuan sambil tetap memperhatikan keadaan, apakah dalam bentuk benda atau suatu yang abstrak dan apakah dari awam muslimin berupa harta, makanan, obat-obatan, pakaian, dan yang lain sebagainya. Atau dari pihak pemerintah Arab dan negeri-negeri Islam dengan mempermudah sampainya bantuan-bantuan kepada mereka dan mengambil posisi dibelakang mereka dan membela kepentingan-kepentingan mereka di pertemuan-pertemuan, acara-acara, dan musyawarah-musyawarah antar negara dan dalam negeri. Semua itu termasuk ke dalam bekerjasama di atas kebajikan dan ketakwaan yang diperintahkan di dalam firman-Nya: “Dan bekerjasamalah kalian di atas kebajikan dan ketakwaan”. (Al Ma’idah: 2)

Dan termasuk dalam hal ini juga, menyampaikan nasihat kepada mereka dan menunjuki mereka kepada setiap kebaikan bagi mereka. Dan diantaranya yang paling besar, mendoakan mereka pada setiap waktu agar cobaan ini diangkat dari mereka dan agar bencana ini disingkap dari mereka dan mendoakan mereka agar Allah memulihkan keadaan mereka dan membimbing amalan dan ucapan mereka.

Dan sesungguhnya kami mewasiatkan kepada saudara-saudara kami kaum muslimin di Palestina untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala dan bertaubat kepada-Nya, sebagaimana kami mewasiatkan mereka agar bersatu di atas kebenaran dan meninggalkan perpecahan dan pertikaian, serta menutup celah bagi pihak musuh yang memanfaatkan kesempatan dan akan terus memanfaatkan (kondisi ini) dengan melakukan tindak kesewenang-wenangan dan pelecehan.

Dan kami menganjurkan kepada semua saudara-saudara kami untuk menempuh sebab-sebab agar terangkatnya kesewenang-wenangan terhadap negeri mereka sambil tetap menjaga keikhlasan dalam berbuat karena Allah Ta’ala dan mencari keridha’an-Nya dan mengambil bantuan dengan kesabaran dan shalat dan musyawarah dengan para ulama dan orang-orang yang berakal dan bijak disetiap urusan mereka, karena itu semua potensial kepada taufik dan benarnya langkah.

Sebagaimana kami juga mengajak kepada orang-orang yang berakal di setiap negeri dan masyarakat dunia seluruhnya untuk melihat kepada bencana ini dengan kacamata orang yang berakal dan sikap yang adil untuk memberikan kepada masyarakat Palestina hak-hak mereka dan mengangkat kedzaliman dari mereka agar mereka hidup dengan kehidupan yang mulia. Sekaligus kami juga berterima kasih kepada setiap pihak yang berlomba-lomba dalam membela dan membantu mereka dari negara-negara dan individu.

Kami mohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang husna dan sifat-sifat-Nya yang tinggi untuk menyingkap kesedihan dari ummat ini dan memuliakan agama-Nya dan meninggikan kalimat-Nya dan memenangkan para wali-Nya dan menghinakan musuh-musuh-Nya dan menjadikan tipu daya mereka boomerang bagi mereka dan menjaga ummat Islam dari kejahata-kejahatan mereka, sesungguhnya Dialah Penolong kita dalam hal ini dan Dzat Yang Maha Berkuasa.

Dan shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad dan kepada keluarga serta shahabatnya dan ummatnya yang mengikuti beliau dengan baik sampai hari kiamat.

Diterjemahkan dari

http://www.sahab.net/home/index.php?threads_id=152

http://www.mimbarislami.or.id/?module=artikel&action=detail&arid=151

Sumber: http://darussunnah.or.id/artikel-islam/muamalah/fatwa-lajnah-daimah-dewan-tetap-arab-saudi-seputar-bencana-di-jalur-gaza/

Selasa, 02 Juni 2009

Jual Beli dengan Sistem Kredit

Kepada ustadz, saya mempunyai pertanyaan dan mohon penjelasannya.
Bagaimana hukumnya jual-beli barang dengan sistem kredit? Apakah sama dengan riba? Demikian pertanyaan saya, atas jawaban ustadz, saya ucapkan jazakallahu khairan katsiran.

Halimah
asy-syauqiyyah@plasa.com

Dijawab oleh:
Al Ustadz Luqman Baabduh

Jual beli dengan sistem kredit (cicilan), yang ada di masyarakat digolongkan menjadi dua jenis:
Jenis pertama, kredit dengan bunga. Ini hukumnya haram dan tidak ada keraguan dalam hal keharamannya, karena jelas-jelas mengandung riba.
Jenis kedua, kredit tanpa bunga. Para fuqaha mengistilahkan kredit jenis ini dengan Bai’ At Taqsiith. Sistem jual beli dengan Bai’ At Taqsiith ini telah dikaji sejumlah ulama, di antaranya:

As-Syaikh Nashirudin Al Albani

Dalam kitab As-Shahihah jilid 5, terbitan Maktabah Al Ma’arif Riyadh, hadits no. 2326 tentang “Jual Beli dengan Kredit”, beliau menyebutkan adanya tiga pendapat di kalangan para ulama. Yang rajih (kuat) adalah pendapat yang tidak memperbolehkan menjual dengan kredit apabila harganya berbeda dengan harga kontan (yaitu lebih mahal, red). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Abi Hurairah yang diriwayatkan oleh An Nasa’i dan At Tirmidzi, bahwa Rasulullah r melarang transaksi jual beli (2 harga) dalam satu transaksi jual beli.

As Syaikh Al Albani menjelaskan, maksud larangan dalam hadits tersebut adalah larangan adanya dua harga dalam satu transaksi jual beli, seperti perkataan seorang penjual kepada pembeli: Jika kamu membeli dengan kontan maka harganya sekian, dan apabila kredit maka harganya sekian (yakni lebih tinggi).

Hal ini sebagaimana ditafsirkan oleh Simaak bin Harb dalam As Sunnah (karya Muhammad bin Nashr Al Marwazi), Ibnu Sirin dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 hal. 137 no. 14630, Thoowush dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 no. 14631, Ats Tsauri dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 no. 14632, Al Auza’i sebagaimana disebutkan oleh Al Khaththaabi dalam Ma’alim As Sunan jilid 5 hal. 99, An Nasa’i, Ibnu Hibban dalam Shahih Ibni Hibban jilid 7 hal. 225, dan Ibnul Atsir dalam Ghariibul Hadits.

Demikian pula dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf, Al Hakim dan Al Baihaqi, dari Abi Hurairah, bahwasanya Rasulullah r bersabda:
“Barangsiapa yang menjual dengan 2 harga dalam 1 transaksi jual beli, maka baginya harga yang lebih murah dari 2 harga tersebut, atau (jika tidak) riba.”

Misalnya seseorang menjual dengan harga kontan Rp 100.000,00, dan kredit dengan harga Rp 120.000,00. Maka ia harus menjual dengan harga Rp 100.000,00. Jika tidak, maka ia telah melakukan riba.

Atas dasar inilah, jual beli dengan sistem kredit (yakni ada perbedaan harga kontan dengan cicilan) dilarang, dikarenakan jenis ini adalah jenis jual beli dengan riba.

As-Syaikh Muqbil bin Hadi Al Waadi’i

Dalam kitabnya Ijaabatus Saailin hal. 632 pertanyaan no. 376, beliau menjelaskan bahwa hukum jual beli seperti tersebut di atas adalah dilarang, karena mengandung unsur riba. Dan beliau menasehatkan kepada setiap muslim untuk menghindari cara jual beli seperti ini.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Abi Hurairah yang diriwayatkan oleh An Nasa’i dan At Tirmidzi, bahwa Rasulullah r melarang transaksi jual beli (2 harga) dalam satu transaksi jual beli.

Namun beliau menganggap lemahnya hadits Abu Hurairah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf, Al Hakim dan Al Baihaqi, dari Abi Hurairah, bahwasanya Rasulullah r bersabda:
“Barangsiapa yang menjual dengan 2 harga dalam 1 transaksi jual beli, maka baginya harga yang lebih murah dari 2 harga tersebut, atau (jika tidak) riba.”

Hal ini sebagaimana disebutkan beliau dalam kitabnya Ahaadiitsu Mu’allah Dzoohiruha As Shahihah, hadits no.369.

Dalam perkara jual beli kredit ini, kami nukilkan nasehat As-Syaikh Al Albani:
“Ketahuilah wahai saudaraku muslimin, bahwa cara jual beli yang seperti ini yang telah banyak tersebar di kalangan pedagang di masa kita ini, yaitu jual beli At Taqsiith (kredit), dengan mengambil tambahan harga dibandingkan dengan harga kontan, adalah cara jual beli yang tidak disyari’atkan. Di samping mengandung unsur riba, cara seperti ini juga bertentangan dengan ruh Islam, di mana Islam didirikan atas pemberian kemudahan atas umat manusia, dan kasih sayang terhadap mereka serta meringankan beban mereka, sebagaimana sabda Rasulullah r yang diriwayatkan Al Imam Al Bukhari :
“Allah merahmati seorang hamba yang suka memberi kemudahan ketika menjual dan ketika membeli…”

Dan kalau seandainya salah satu dari mereka mau bertakwa kepada Allah, menjual dengan cara kredit dengan harga yang sama sebagaimana harga kontan, maka hal itu lebih menguntungkan baginya, juga dari sisi keuntungan materi. Karena dengan itu menyebabkan sukanya orang membeli darinya, dan diberkahinya oleh Allah pada rejekinya, sebagaimana firman Allah:

… Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya). Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki-Nya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (Ath Thalaq: 2-3)

Demikian nasehat dari As-Syaikh Al Albani. Sebagai kesimpulan, kami nasehatkan kepada kaum Muslimin, hendaknya memilih cara kontan jika menghadapi sistem jual beli semacam ini.
Wallahu a’lamu bisshawaab.

Sumber : http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=74

Sumber:

Kepada ustadz, saya mempunyai pertanyaan dan mohon penjelasannya.
Bagaimana hukumnya jual-beli barang dengan sistem kredit? Apakah sama dengan riba? Demikian pertanyaan saya, atas jawaban ustadz, saya ucapkan jazakallahu khairan katsiran.

Halimah
asy-syauqiyyah@plasa.com

Dijawab oleh:
Al Ustadz Luqman Baabduh

Jual beli dengan sistem kredit (cicilan), yang ada di masyarakat digolongkan menjadi dua jenis:
Jenis pertama, kredit dengan bunga. Ini hukumnya haram dan tidak ada keraguan dalam hal keharamannya, karena jelas-jelas mengandung riba.
Jenis kedua, kredit tanpa bunga. Para fuqaha mengistilahkan kredit jenis ini dengan Bai’ At Taqsiith. Sistem jual beli dengan Bai’ At Taqsiith ini telah dikaji sejumlah ulama, di antaranya:

As-Syaikh Nashirudin Al Albani

Dalam kitab As-Shahihah jilid 5, terbitan Maktabah Al Ma’arif Riyadh, hadits no. 2326 tentang “Jual Beli dengan Kredit”, beliau menyebutkan adanya tiga pendapat di kalangan para ulama. Yang rajih (kuat) adalah pendapat yang tidak memperbolehkan menjual dengan kredit apabila harganya berbeda dengan harga kontan (yaitu lebih mahal, red). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Abi Hurairah yang diriwayatkan oleh An Nasa’i dan At Tirmidzi, bahwa Rasulullah r melarang transaksi jual beli (2 harga) dalam satu transaksi jual beli.

As Syaikh Al Albani menjelaskan, maksud larangan dalam hadits tersebut adalah larangan adanya dua harga dalam satu transaksi jual beli, seperti perkataan seorang penjual kepada pembeli: Jika kamu membeli dengan kontan maka harganya sekian, dan apabila kredit maka harganya sekian (yakni lebih tinggi).

Hal ini sebagaimana ditafsirkan oleh Simaak bin Harb dalam As Sunnah (karya Muhammad bin Nashr Al Marwazi), Ibnu Sirin dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 hal. 137 no. 14630, Thoowush dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 no. 14631, Ats Tsauri dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 no. 14632, Al Auza’i sebagaimana disebutkan oleh Al Khaththaabi dalam Ma’alim As Sunan jilid 5 hal. 99, An Nasa’i, Ibnu Hibban dalam Shahih Ibni Hibban jilid 7 hal. 225, dan Ibnul Atsir dalam Ghariibul Hadits.

Demikian pula dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf, Al Hakim dan Al Baihaqi, dari Abi Hurairah, bahwasanya Rasulullah r bersabda:
“Barangsiapa yang menjual dengan 2 harga dalam 1 transaksi jual beli, maka baginya harga yang lebih murah dari 2 harga tersebut, atau (jika tidak) riba.”

Misalnya seseorang menjual dengan harga kontan Rp 100.000,00, dan kredit dengan harga Rp 120.000,00. Maka ia harus menjual dengan harga Rp 100.000,00. Jika tidak, maka ia telah melakukan riba.

Atas dasar inilah, jual beli dengan sistem kredit (yakni ada perbedaan harga kontan dengan cicilan) dilarang, dikarenakan jenis ini adalah jenis jual beli dengan riba.

As-Syaikh Muqbil bin Hadi Al Waadi’i

Dalam kitabnya Ijaabatus Saailin hal. 632 pertanyaan no. 376, beliau menjelaskan bahwa hukum jual beli seperti tersebut di atas adalah dilarang, karena mengandung unsur riba. Dan beliau menasehatkan kepada setiap muslim untuk menghindari cara jual beli seperti ini.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Abi Hurairah yang diriwayatkan oleh An Nasa’i dan At Tirmidzi, bahwa Rasulullah r melarang transaksi jual beli (2 harga) dalam satu transaksi jual beli.

Namun beliau menganggap lemahnya hadits Abu Hurairah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf, Al Hakim dan Al Baihaqi, dari Abi Hurairah, bahwasanya Rasulullah r bersabda:
“Barangsiapa yang menjual dengan 2 harga dalam 1 transaksi jual beli, maka baginya harga yang lebih murah dari 2 harga tersebut, atau (jika tidak) riba.”

Hal ini sebagaimana disebutkan beliau dalam kitabnya Ahaadiitsu Mu’allah Dzoohiruha As Shahihah, hadits no.369.

Dalam perkara jual beli kredit ini, kami nukilkan nasehat As-Syaikh Al Albani:
“Ketahuilah wahai saudaraku muslimin, bahwa cara jual beli yang seperti ini yang telah banyak tersebar di kalangan pedagang di masa kita ini, yaitu jual beli At Taqsiith (kredit), dengan mengambil tambahan harga dibandingkan dengan harga kontan, adalah cara jual beli yang tidak disyari’atkan. Di samping mengandung unsur riba, cara seperti ini juga bertentangan dengan ruh Islam, di mana Islam didirikan atas pemberian kemudahan atas umat manusia, dan kasih sayang terhadap mereka serta meringankan beban mereka, sebagaimana sabda Rasulullah r yang diriwayatkan Al Imam Al Bukhari :
“Allah merahmati seorang hamba yang suka memberi kemudahan ketika menjual dan ketika membeli…”

Dan kalau seandainya salah satu dari mereka mau bertakwa kepada Allah, menjual dengan cara kredit dengan harga yang sama sebagaimana harga kontan, maka hal itu lebih menguntungkan baginya, juga dari sisi keuntungan materi. Karena dengan itu menyebabkan sukanya orang membeli darinya, dan diberkahinya oleh Allah pada rejekinya, sebagaimana firman Allah:

… Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya). Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki-Nya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (Ath Thalaq: 2-3)

Demikian nasehat dari As-Syaikh Al Albani. Sebagai kesimpulan, kami nasehatkan kepada kaum Muslimin, hendaknya memilih cara kontan jika menghadapi sistem jual beli semacam ini.
Wallahu a’lamu bisshawaab.

Sumber : http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=74

Berjihad di Jalan ALLAH

Jihad merupakan kewajiban setiap muslim, baik dengan harta benda (infaq), dengan jiwa (perang) atau dengan lisan dan tulisan, yakni dengan mengajak jihad dan memper-tahankannya. Jihad ada beberapa macam:
  1. Fardhu ‘Ain, yaitu berjuang melawan musuh yang menyerbu ke sebagian negara umat Islam. Seperti jihad melawan kaum Yahudi yang menduduki negara Palestina. Semua orang muslim yang mampu, akan berdosa kalau sampai mereka tidak dapat mengeluarkan orang-orang Yahudi dari negeri tersebut.
  2. Fardhu Kifayah, jika sebagian telah memperjuangkan-nya, maka yang lain tidak berkewajiban melakukan perjuangan tersebut. Yaitu berjuang menyebarkan dakwah Islam ke seluruh negara sehingga mereka melaksanakan hukum Islam, dan barangsiapa yang masuk Islam serta berjalan di jalan Islam kemudian terbunuh sehingga tegak kalimat Allah. Karena itu, jihad seperti ini masih berlaku terus sampai hari Kiamat. Jika orang-orang Islam meninggalkan jihad dan tertarik oleh kehidupan dunia, misalnya pertanian dan perdagangan maka ia akan tertimpa kehinaan, sebagaimana sabda Rasu-lullah Shallallaahu alaihi wa Sallam: “Jika anda jual beli ‘inah (seseorang menjual sesuatu dengan tempo dan menyerahkannya kepada pembeli, kemudian ia membelinya dari si pembeli tersebut sebe-lum lunas pembayarannya dengan harga yang lebih murah dan dibayar langsung) dan kamu berjalan di belakang ekor-ekor sapi (membajak di sawah) dan kamu puas dengan pertanian kemudian kamu tinggalkan jihad di jalan Allah, maka Allah menimpakan kepada kamu sekalian kehinaan dan tidak akan melepaskannya darimu sehingga kamu kembali kepada agamamu.” (HR. Muslim).
  3. Jihad terhadap pemimpin Islam, yaitu dengan mem-berikan nasihat kepada mereka dan pembantu mereka, seba-gaimana sabda Rasullullah Shallallaahu alaihi wa Sallam : ”Agama adalah nasihat. Kami bertanya, ‘Untuk siapa wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Untuk Allah, KitabNya, RasulNya, pemimpin-pemimpin Islam dan orang-orang muslim pada umumnya.” (HR. Muslim). Beliau juga bersabda: “Jihad yang paling mulia adalah menyampaikan kebe-naran pada pemimpin yang zhalim.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi). Adapun cara umat Islam menghindarkan diri dari penga-niayaan pemimpin mereka, yaitu hendaknya umat Islam ber-taubat kepada Tuhan, meluruskan akidah mereka, mendidik diri dan keluarga mereka atas dasar ajaran-ajaran Islam yang benar, sebagai pelaksanaan dari firman Allah: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’d: 11). Untuk itu salah seorang da’i masa kini pernah menga-takan: “Dirikanlah negara Islam dalam hatimu, niscaya akan tegak di muka bumi.” Dan juga harus memperbaiki pondasi bangunan yang didirikan, yaitu masyarakat. Allah berfirman: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menja-dikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sung-guh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55).
  4. Berjihad melawan orang-orang kafir, komunis dan penyerang dari kaum ahli kitab, baik dengan harta, jiwa maupun lisan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam: (( جَاهِدُوْا لِلْمُشْرِكِيْنَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ )) “Dan barjihadlah menghadapi orang-orang musyrik de-ngan harta bendamu, jiwamu dan lisanmu.” (HR. Ahmad).
  5. Berjihad melawan orang-orang fasik dan pelaku mak-siat dengan tangan, lisan dan hati, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam: (( مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَالِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ )) artinya: “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran ma-ka hendaknya ia mengubah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).
  6. Berjihad melawan setan; dengan selalu menentang segala kemauannya dan tidak mengikuti godaannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia sebagai musuh(mu), karena sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni Neraka yang menyala-nyala.” (Faathir: 6).
  7. Berjihad melawan hawa nafsu, yakini dengan me-ngendalikan hawa nafsu, membawanya pada ketaatan ter-hadap Allah dengan menghindari berbagai kemaksiatan. Allah berfirman melalui ucapan Zulaihah yang mengaku telah membujuk Yusuf alaihissalam untuk berbuat dosa: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhan-ku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yusuf: 53).

Ada sebuah syair menuturkan:
وَخَالِفِ النَّفْسَ وَالشَّيْطَانَ وَاعْصِهِمَا
وَإِنْ هُمَا مَحَضَاكَ النُّصْحَ فَاتَّهِمْ

“Musuh besarmu nafsu dan setan, bujuk rayunya jangan kau hiraukan, tutur nasihatnya penuh kesesatan, i’tikad baiknya mesti kau ragukan.”

Ya Allah berilah kami taufiq untuk menjadi orang-orang yang berjihad dan beramal mengikuti Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam.

DI ANTARA SEBAB-SEBAB KEMENANGAN
Pada waktu Umar bin Khattab Radhiallaahu anhu mengirimkan utusan di bawah pimpinan Sa’ad bin Abi Waqqash untuk menak-lukkan Parsi, beliau menulis pesan yang isinya sebagai berikut:

  1. Takwa Kepada Allah. Aku perintahkan kepadamu dan semua tentara yang ikut bersamamu untuk bertakwa kepada Allah dalam keadaan bagaimana pun juga, sebab takwa adalah senjata yang paling ampuh untuk menaklukkan musuh serta siasat perang yang paling hebat.
  2. Meninggalkan Segala Bentuk Perbuatan Maksiat. Aku perintahkan pula kepadamu dan orang-orang yang ikut bersamamu, agar menjaga diri dari perbuatan maksiat lebih cermat daripada menjaga serangan musuh, karena dosa-dosa para tentara itu lebih menakutkan mereka sendiri daripada musuhnya. Kemenangan kaum Muslimin itu akibat perbuatan maksiat musuhnya. Andaikata mereka tidak berbuat maksiat pasti orang-orang Islam tidak mempunyai kekuatan, sebab jumlah, kekuatan serta perbekalan mereka tidak sebanyak dan sekuat musuh mereka. Andaikata mereka sama-sama berbuat maksiat pasti musuh Islam lebih kuat. Seandainya kita tidak diberikan kekuatan dengan takwa dan meninggalkan maksiat, pasti kita tidak dapat mengalahkan mereka. Ketahuilah bahwasanya sewaktu kamu berangkat ke Parsi setiap dirimu diawasi oleh malaikat yang mengetahui segala perbuatanmu. Hendaknya kamu malu kepada mereka. Dan janganlah berbuat maksiat di tengah-tengah kamu berjuang menegakkan agama Allah, begitu pula jangan beranggapan bahwa musuh kita lebih jelek daripada kita sehingga tidak mungkin mereka menguasai kita walaupun kita berbuat jelek. Karena banyak manusia yang dipimpin oleh orang yang lebih jelek daripada mereka, seperti Bani Israil, karena perbuatan maksiat mereka, akhirnya mereka dipimpin oleh orang kafir Majusi.
  3. Mohon Pertolongan Kepada Allah. Memohonlah kamu kepada Allah untuk kemenangan dan keselamatanmu dari godaan maksiat, sebagaimana kamu me-mohon kemenangan dari musuhmu dan berdo’alah kepada Allah, baik untuk kita maupun untuk kamu sendiri.

dinukil dari bimbingan islam untuk pribadi dan masyarakat, m jamil zainu

Sumber: http://masbadar.wordpress.com/2008/04/26/pencerahan-ttg-jihad/

Siapa Bilang Ngerokok HARAM??? Kok Bisa?

Rokok memang tidak ada pada zaman Nabi , tetapi Islam datang membawa kaidah-kaidah umum yang melarang segala sesuatu yang mendatangkan bahaya bagi badan, me-nyakiti tetangga atau menyia-nyiakan harta. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

  1. Surat Al-A’raf ayat 157: “Dan Rasul menghalalkan yang baik bagi mereka serta mengharamkan bagi mereka yang buruk.” Rokok termasuk yang buruk, membahayakan dan tak sedap baunya.
  2. Surat Al-Baqarah ayat 195: “Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” Rokok mengakibatkan penyakit yang membinasakan seperti kanker, paru-paru dan lain sebagainya.
  3. Surat An-Nisaa’ ayat 29: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” Rokok membunuh secara perlahan-lahan.
  4. Surat Al-Baqarah ayat 219: “Dosa keduanya (arak dan judi) lebih besar dari man-faatnya.” Rokok bahayanya lebih besar daripada manfaatnya.
  5. Surat Al-Isra’ ayat 26: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (harta-mu) dengan sesungguhnya pemboros-pemboros itu ada-lah saudaranya setan.” Rokok adalah pemborosan, termasuk perbuatan setan.
  6. Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam bersabda: (( لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ )) “Tidak boleh membahayakan diri sendiri atau orang lain.” Rokok membahayakan si perokok, mengganggu tetangga dan membuang-buang harta.
  7. Sabda Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam: (( وَكَرِهَ (الله) لَكُمْ إِضَاعَةَ الْمَالِ )) “Allah membenci untukmu perbuatan menyia-nyiakan harta.” Merokok adalah menyia-nyiakan harta, dibenci oleh Allah.
  8. Sabda Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam : (( إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيْسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيْسِ السُّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَا فِخِ الْكِيْرِ )) “Perumpamaan kawan pergaulan yang baik dengan kawan pergaulan yang jelek seperti pembawa minyak wangi dengan peniup api tukang besi.” (HR. Al-Bukhari-Muslim). Perokok adalah kawan duduk yang jelek yang meniup api.
  9. Sabda Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam: (( مَنْ تَحَسَّى سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَسُمُّهُ فِى يَدِهِ يَتَحَسَّاهُ فِى نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا أَبَدًا )) “Barangsiapa menghirup racun hingga mati maka racun itu akan berada di tangannya lalu dihirupkan (kepadanya) selama-lamanya di Neraka Jahanam.” (HR. Muslim). Rokok mengandung racun (nikotin) yang membunuh peminumnya perlahan-lahan dan menyiksanya.
  10. Sabda Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam : (( مَنْ اَكَلَ ثَوْمًا أَوْ بَصَلاً فَلْيَعْتَزِلْنَا وَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدْ بَيْتَهُ )) “Barangsiapa makan bawang putih atau bawang merah hendaknya menyingkir dari kita dan menyingkir dari masjid dan duduklah di rumahnya.” (HR. Al-Bukhari-Muslim). Rokok lebih busuk baunya daripada bawang putih atau bawang merah.
  11. Sebagian besar ahli fiqh mengharamkan rokok. Sedang yang tidak mengharamkan karena belum melihat bahayanya yang nyata di antaranya yaitu penyakit kanker.
  12. Apabila orang membakar uang satu lira, kita pasti me-ngatakannya orang gila. Bagaimana orang membakar rokok yang harganya ratusan lira yang berakibat mem-bahayakan dirinya serta para tetangganya?
  13. Dari semua hadits maupun ayat Al-Qur’an tersebut di atas jelas bahwa rokok termasuk di antara semua yang negatif dan membahayakan pengisapnya, juga tetangga-nya.
  14. Apakah Anda masih termasuk orang yang beragama dan berperasaan?
  15. Apabila rokokmu membuat orang terganggu dan mengotori udara hukumnya haram seperti halnya mengotori air yang dapat membahayakan orang.
  16. Andaikata kita bertanya kepada orang yang mengisap rokok: “Apakah rokokmu itu akan dimasukkan dalam amal baik ataukah amal buruk?” Ia pasti menjawab bahwa rokoknya itu termasuk dalam amal buruk.
  17. Memohonlah Anda kepada Allah agar bisa meninggalkan kebiasaan merokok, karena barangsiapa meninggal-kan sesuatu karena Allah, Dia akan memberikan perto-longan. Dan bersabarlah, karena Allah beserta orang-orang yang sabar.

dinukil dari: bimbingan islam untuk pribadi dan masyarakat; jamil zainu.

Sumber: http://masbadar.wordpress.com/2008/04/26/haram-ga-sih-merokok/

Emang bener ALLAH ada di mana-mana?

magJika kita bertanya kepada sebagian saudara kita tempat Allah berada, niscaya kita akan mendapati dua jawaban ngawur;
1. Allah ada di dalam diri kita
2. Allah berada di mana-mana atau di segala tempat!

Inilah dua keyakinan bathil yang telah mengakar pada pemahaman sebagian kaum muslimin. Dan keyakinan yang ngawur ini saat ini didakwahkan secara terang-terangan oleh kelompok tertentu. Bahkan ada salah satu stasiun televisi menayangkan si sebuah sinetron yang bertemakan bahwa Allah ada di mana-mana.

Jawaban yang pertama datang dari kaum wihdatul wujud, yang telah dikafirkan oleh para ulama kita yang dahulu dan yang sekarang. Sedangkan jawaban yang kedua datang dari kaum jahmiyyah dan mu’tazilah dan mereka yang sefaham dengan keduanya. Ibnul Qoyim menyatakan: “Pertempuran antara Ahli Hadits dan kelompok Jahmiyyah lebih dahsyat daripada pertempuran antara pasukan Islam dengan pasukan kafir”.

Perjuangan gigih para ulama Ahlus Sunnah Wal jama’ah dalam membela aqidah dari kegoncangan faham-faham hitam jahmiyyah sangatlah kuat, sehingga begitu banyak kitab yang bertemakan bantahan terhadap Jahmiyah seperti yang ditulis oleh Imam Ahmad, Utsman bin Said Ad Darimi, Ibnu Mandah, Ibnu Bathal, dan lain-lainnya.

Di mana Allah? Itulah pertanyaan Rasulullah saw kepada seorang budak perempuan kepunyaan Muawiyah As-Sulami ra sebagai ujian keimanan sebelum ia dimerdekakan oleh tuannya.

Budak perempuan itu menjawab: ‘Di atas langit.
Beliau bertanya lagi: ‘Siapakah Aku’
Jawab budak perempuan: ‘Engkau adalah Rasulullah’.

Beliau bersabda: ‘Merdekakan dia!, Karena sungguh ia seorang perempuan yang beriman.” (Hadits shahih)

Hadits yang mulia ini merupakan cemeti dan petir yang menyambar di kepala dan telinga ahlul bid’ah dari kaum jahmiyyah dan mu’tazilah dan yang sefaham dengan mereka dari kaum yang menyandarkan aqidah mereka kepada Imam Abul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ariyi’, yaitu mereka mempunyai I’tiqad: “ALLAH BERADA DISETIAP TEMPAT ATAU ALLAH BERADA DIMANA-MANA !?”.

Jawablah kepada mereka firman Allah swt: “Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu”. (Al-Mu’minun: 91)

Telah berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ra di kitabnya Aqidah Al-Wasithiyyah: “Dan termasuk bagian dari iman kepada Allah ?, yaitu beriman kepada apa yang Allah beritakan dalam kitab-Nya dan dengan apa yang diriwayatkan dari Rasul-Nya ? secara mutawatir serta telah disepakati oleh salafush sholih, bahwa Allah itu berada diatas langit diatas ‘Arsy-Nya”.

Berkata Imam Adz-Dzahabi Rahimahullah dikitabnya Al-‘Uluw setelah membawakan hadits diatas: “Demikianlah pendapat kami bahwa setiap orang yang ditanyakan, Dimanakah Allah ?. Dia segera menjawab dengan fitrahnya: ‘(Allah) di atas langit !’ Dan didalam hadits ini ada dua masalah, yang pertama: ‘Disyari’atkannya pertanyaan seorang muslim: ‘Dimanakah Allah ?’ Yang kedua: Jawaban orang yang ditanya: ‘(Allah) diatas langit !’ Maka barangsiapa yang mengingkari dua masalah diatas pada hakikatnya dia telah mengingkari Al Mustofa..” Al MUstofa adalah gelar Nabi saw.

Allah swt telah berfirman: “Ar-Rahman (Allah) di atas `Arsy Ia bers-istiwa”. (Thaha: 5)

Aqidah para salafush shalih yang mengikuti mereka seperti Imam yang empat: Abu Hanifah, malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal dan ulama lainnya termasuk Imam Abul Hasan Al-Asy’ary sendiri, mereka semua beriman bahwa Allah swt “ISTIWA” diatas ‘Arsy-Nya sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya.

Berkata Imam Ibnu Khuzaimah Rahimahullah didalam kitab Tauhid nya (hal: 101): “Kami beriman dengan kabar dari Allah swt sesungguhnya pencipta kami (Allah) Ia istiwa diatas ‘Arsy’-Nya. Kami tidak akan mengganti / mengubah kalam (firman) Allah swt dan kami tidak akan mengucapkan perkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada kami sebagaimana kaum yang menghilangkan sifat-sifat Allah, kaum Jahmiyyah telah berkata: ‘Sesungguhnya Dia (Allah) istawla (menguasai) ‘Arsy’-Nya tidak Istawa !”. Maka mereka telah mengganti perkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada mereka, seperti perbuatan Yahudi tatkala mereka diperintah mengucapkan: ‘Hithathatun (ampunkanlah dosa-dosa kami),’. Tetapi mereka mengucapkan: ‘Hintah (gandum)’. Mereka (kaum yahudi) telah menyalahi perintah Allah yang maha besar dan maha tinggi seperti itulah kaum Jahmiyyah.”

Yakni: Allah swt telah menetapkan dikitab-Nya yang mulia bahwa Ia Istiwa diatas ‘Arsy’-Nya sesuai dengan kebesaranNya, sedangkan ilmunya meliputi di setiap tempat dan tidak satupun tersembunyi dari pngetahuan-Nya. Kemudian datanglah kaum Jahmiyyah yang mengubah firman Allah swt Istawa (bersemayam) dengan Istawla (menguasai) dan mengatakan Dzat Allah berada dimana-mana dan disetiap tempat. Maha suci Allah dari apa yang disifatkan oleh kaum Jahmiyyah.

Adapun Aqidah salafush Shalih mereka telah beriman dengan menetapkan sesungguhnya Allah ? Istawa diatas ‘Arsy’-Nya dengan tanpa:
1. Tahrif, yakni: merubah lafadz dan artinya.
2. Ta’wil, yakni: Memalingkan dari arti yang dzahir kapada arti yang lain.
3. Ta’thil, yakni: Menghilangkan sifat-sifat Allah baik sebagian ataupun keseluruhan.
4. Tashbih, yakni: Menyerupakan Allah dengan makhluknya.
5. Takyif, yakni: Bertanya tentang kaifiyahnya dengan pertanyaan: Bagaimana caranya ?.

Alangkah bagusnya jawaban Imam Malik Rahimahullah ketika beliau ditanya: “Bagaimana caranya Allah Istiwa (bersemayam) di atas ‘Arsy ?”.

Beliau menjawab: “Istiwa itu bukanlah sesuatu yang asing, tetapi bagaimana Allah beristiwa tidaklah dapat dimengerti. Mengimani tentang Istiwa Allah adalah wajib, akan tetapi mempertanyakan cara Allah beristiwa adalah Bid’ah”. (Fatawa Hamawiyyah Kubra, hal: 45-46).

Demikianlah sikap para pendahulu yang shalih dan para ‘ulama Ahlus Sunnah wal jama’ah. Mereka semua berbicara tentang Allah swt hanya berdasar dalil-dalil yang shahih, dan mengimani apa adanya dari dalil tersebut tanpa tahrif, Ta’wil, Ta’thil, Tashbih, dan Takyif. Maka sudah selayaknya kita mengikuti jejak mereka. Karena tidak ada yang mengetahui tentang Allah swt kecuali Allah swt sendiri yang telah Dia Khabarkan melalui Kitab-Nya dan Hadits Rasul-Nya saw.

Terima kasih atas sumbangan file dari Mas Heru Yulias Wibowo – Redaktur Buletin Da’wah An Nashihah Cikarang Baru, – Bekasi.

Source: http://masbadar.wordpress.com/2009/05/28/memang-benarkah-allah-ada-di-mana-mana/


Perbedaan Antara Hadiah dan Suap

Hadiah dan suap; dua buah kata yang memiliki konotasi yang sangat berbeda, namun sering kali kedua kata ini menjadi rancu dan kabur di masyarakat. Keduanya sering dikonotasikan dengan satu makna; suap, sebuah kata yang tidak sedap

Sebuah musibah besar; di negeri ini suap menyuap dianggap sebagai suatu hal yang lumrah. Bahkan dalam urusan tertentu dianggap suatu keharusan, sebab tanpa suap maka hampir dipastikan urusan akan jadi rumit dan berbelit. Ditambah lagi korupsi yang juga sudah jadi pemandangan akrab. Nyaris di semua instansi; baik pemerintah ataupun swasta, praktek haram ini kerap selalu terjadi. Padahal jelas sekelai: praktek suap dan korupsi melanggar larangan Tuhan, Allah SWT: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”(Al Baqarah : 188)

Definisi Suap, Hadiah, dan Bonus
Banyak sebutan untuk pemberian kepada pegawai diluar gajinya, seperti suap, hadiah, bonus, fee, dan sebagainya. Sebagian ulama’ memasukan empat pemasukan seorang pegawai, yaitu; gaji, uang suap, hadiah, dan bonus (Subulus Salam 1/216)

Suap disebut juga dengan sogok atau uang pelicin, yang dalam bahasa syar’i disebiut “Risywah” yang maknanya: memberi uang atau sesuatu kepada pegawai dengan harapan mendapatkan kemudahan dalam suatu urusan. Sedangkan hadiah maknanya; pemberian seseorang yang sah kepada orang lain, secara kontan tanpa ada syarat dan balasan. Adapun bonus, maknanya mendekati hadiah, yaitu upah di luar gaji resmi yang diberikan kepada pegawai.

Dalil Tentang Suap & Hadiah
Hukum suap sangat jelas; diharamkan! Baik bagi yang memberi atau yang menerima. Ayat di atas adalah salah satu dalilnya. Dalam menafsirkan ayat diatas Al Haitsami berkata; “janganlah kalian ulurkan kepada hakim pemberian kalian, yaitu dengan cara mengambil muka dan menyuap mereka, dengan harapan mereka akan memberikan hak orang lain kepada kalian, sedangkan kalian mengetahui hal itu tidak halal bagi kalian” (Az Zawajir 1/131)

Dalam mensifati orang-orang Yahudi, Allah swt berfirman; “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram,…”(Al Maidah : 42)

Tentang ayat ini Hasan bin Jubair dalam tafsirnya, bahwa yang dimaksud adalah pemakan uang suap, dan beliau berkata; “Jika seorang qadhi menerima suap, tentu akan membawa kepada kekufuran” (Al Mughni 11/437)

Rasulullah SAW telah bersabda; “Rasulullah SAW melaknat yang memberi suap dan yang menerima suap” (Riwayat Tirmidzi 1/250, Ibnu Majah 2313, Ahmad 1/164, dari Ibnu ‘Umar , dengan sanad shahih)

Adapun hadiah, merupakan pemberian yang dianjurkan dalam syari’at, sekalipun pemberian itu merupakan suatu barang yang remeh. Rasulullah SAW bersabda:
“Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencinta” (Riwayat Bukhari, dalam Adabul Mufrad 594, dengan sanad shahih)

Beda Suap dengan Hadiah
1. Suap adalah pemberian yang diharamkan syari’at, sedangkan hadiah merupakan yang dianjurkan syari’at
2. Suap diberikan dengan satu syarat yang disampaikan secara langsung atau tidak langsung ,sedang hadiah diberikan secara ikhlash tanpa syarat
3. Suap diberikan untuk mencari muka dan mempermudah hal bathil sedangkan hadiah untuk silaturrahim dan kasih sayang
4. Suap dilakukan secara sembunyi-sembunyi berdasar tuntut menuntut, biasanya diberikan dengan berat hati, sedang hadiah diberikan atas sifat kedermawanan
5. Biasanya Suap diberikan sebelum suatu pekerjaan, sedang hadiah setelahnya

Hukum Pemberian Kepada Pegawai
Terdapat riwayat yang menarik untuk menggambarkan permasalahan ini. Dari Abu Hamid As Saidi ra, berkata: “Rasulullah SAW mengangkat seseorang dari suku Azad sebagai petugas penarik zakat dari Bani Sulaim. Orang memanggilnya dengan Ibnu Lutbiah. Ketika daaing Rasulullah SAW mengaudit hasil zakat yang dikumpulkannya, ia berkata; “Ini harta kalian (Harta zakat), dan ini hadiah”. Lalu Rasulullah J berkata kepadanya; “Kalau engkau benar, mengapa engkau tidak duduk saja di rumah ibumu, sampai hadiah itu mendatangimu?” Lalu beliau SAW berkhotbah, memanjatkan pujian kepada Allah, lalu beliau bersabda; “Aku telah tugaskan seseorang dari kalian sebuah pekerjaan yang Allah telah pertanggung jawabkan kepadaku, lalu ia datang dan berkata;”Yang ini harta kalian, sedang yang ini hadiah untuku”. Jika dia benar mengapa ia tidak duduk saja dirumah ayah atau ibunya, kalau benar hadiah itu mendatanginya. Demi Allah, tidak boleh salah seorang dari kalian mengambilnya tanpa hak, kecuali dia bertemu dengan Allah dengan membawa onta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik”. Lalu beliau J mengangkat kedua tangannya hingga nampak ketiaknya dan berkata; “Ya Allah telah aku sampaikan, (Rawi berkata),”Aku lihat langsung dengan kedua mataku, dan aku dengar dengan kedua telingaku” (Riwayat Bukhari 6979, Muslim 1832)

Karena sudah dianggap biasa oleh sebagian besar orang, serta sudah hampir membudaya, seringkali sesuatu yang telah jelas keharamanya dianggap menjadi sesuatu yang lumrah. Sehingga tatkala ada orang yang melakukannya, ia tidak sedikitpun merasa bersalah atau berdosa. Begitu pula dengan suap, yang saat ini sering diistilahkan dengan berbagai istilah yang manis dan rancu, seperti bonus, feee, katebelece, atau istilah lainnya. Maka yang terpenting bagi seorang muslim adalah, harus mengetahui bentuk pemberian itu, dan hukum syari’at tentang hal itu. Sehingga ia tidak mudah tertipu dengan setiap bentuk penyamaran istilah.

Pemberian kepada pegawai terbagi menjadi tiga macam;
Pertama, Pemberian yang diharamkan, baik pemberi maupun penerimanya. Kaidahnya adalah; pemberian tersebut bertujuan untuk sesuatu yang bathil, atau pemberian tersebut memanglah tidak perlu, karena memang telah menjadi tugas dari pegawai tersebut. Contohnya adalah; pemberian kepada pegawai atau petugas, untuk memalsukan data, atau mendahulukan pelayanan kepadanya daripada orang lain, atau untuk memenangkan perkaranya, dan lain-lain.. Diantara permisalan lain adalah pemberian seorang atasan kepada bawahannya agar bawahannya tersebut memalsukan data, atau diam terhadap suatu kesalahan, dan lain-lain.

Kedua, Pemberian yang haram bagi yang mengambilnya, dan diberi keringanan dalam memberikannya. Kaidahnya adalah; pemberian yang diberikan secara terpaksa, karena apa yang telah menjadi haknya, atau pemberian kepada petugas yang memperlambat haknya atau sengaja diperlambat oleh ptugas yang bersangkutan yang seharusnya memberikan pelayanan. Misalnya; pemberian kepada petugas untuk mendapatkan suatu surat tertentu pada suatu instansi, yang mana petugas tersebut menolak mengerjakannya, atau sengaja mmperlambat dan mempersulitnya jika tidak diberi sejumlah uang.

Ketiga; Pemberian yang dibolehkan, bahkan dianjurkan memberi dan mengambilnya. Kaidahnya adalah; pemberian dengan mengharap ridha Allah , untuk mempererat silaturrahim, atau untuk menjalin ukhuwah, dan bukan bertujuan memperoleh keuntungan duniawi.

Sekilas Mengenai Korupsi
Satu hal lagi yang juga sudah nyaris membudaya di negeri ini adalah korupsi. Korupsi dalam istilah syar’i disebut dengan ghulul, yaitu mencuri secara diam-diam. Ini jelas perbuatan haram, Rasulullah SAW telah bersabda, “Barangsiapa yang telah kami tunjuk untuk sebuah pekerjaan, lalu ia menyembunyikan sebuah jarum atau lebih, berarti ia telah berbuat ghulul yang harus ia bawa nanti pada hari kiamat”. Dia (‘Adi) berkata; “Tiba-tiba seorang laki-laki Anshar berkulit hitam tegak berdiri, seakan-akan aku melihatnya, lalu ia berkata; “Ya Rasulullah, tawarkan pekerjaan kepadaku”. Beliau bersabda; “Apa gerangan?”. Dia berkata; “Aku baru saja mendengar engkau berkata begini dan begini”. Lalu beliau bersabda; “Saya tegaskan kembali, Barangsiapa yang kami tunjuk untuk mengerjakan sesuatu, hendaklah ia membawa semuanya, yang kecil ataupun yang besar. Apa yang diberikan kepadanya ia ambil. Dan apa yang dilarang ia mengambilnya, ia tidak mengambilnya” (Riwayat Muslim 1833)

Coba kita renungkan hadits di atas. Mengambil sebuah jarum pun yang bukan haknya, akan dihisap pada hari kiamat. Lalu bagaimanakah dengan orang korupsi yang jumlahnya mencapai ratusan juta, bahkan Milyaran atau triliyunan???

Dampak Negatif Suap & Korupsi
Tidaklah suap berkembang pada komunitas manapun, melainkan kerusakan akan menyebar kepadanya. Kepincangan sosial menjadi dominan. Demikian pula hati manusia menjadi bercerai berai, stabilittas keamanan menjadi terancam, menumbuhkan penghinaan (yang) mengarah kepada ahli kebenaran dan para pembela kebathilan semakin meraja lela. Problematika ini, memunculkan bahaya di masyarakat, dan individunya. Jadi suap termasuk perolehan harta yang keji. Pengaruh buruknya begitu kuat terhadap individu dan masyarakat.(Fatwa Syeikh Fauzan, dalam Al Muntaqa min Fatawa Syeikh Shalih Fauzan,3/261-262)

Syeikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah Bin Baaz (Mufti Saudi Arabia) pernah ditanya; “Apa yang terjadi pada masyarakat yang menjadi lahan subur praktek suap?.

Beliau menjawab; “Tidak diragukan lagi, jika maksiat-maksiat nampak sedemikian jelas, niscaya akan mencerai beraikan masyarakat, dan memutus kasih sayang ditengah anggota (masyarakat), dan menyulut perseteruan dan permusuhan, enggan bekerja sama dalam kebaikan”.

Lalu beliau melanjutkan; “Yang termasuk pengaruh buruk suap dan maksiat lainnya, yaitu munculnya dan merajalelanya degradasi moral, redupnya cahaya akhlaq yang luhur, timbulnya saling mendzalimi antar individu. Pemicunya adalah; adanya tindakan sewenang-wenang terhadap hak-hak orang lain, melalui suap, pencurian, khianat, penipuan dalam muamalah, dan persaksian palsu, dan lain sebagainya. Semuanya termasuk tindak kriminal yang buruk, serta menjadi pemicu kemurkaan Allah , juga menjadi faktor penyulut perseteruan dan permusuhan di kalangan kaum muslimin. Selain itu menjadi faktor turunnya adzab yang bersifat menyeluruh, seperti yang disabdakan Nabi SAW: “BIla manusia melihat kemungkaran lalu tidak merubahnya, maka dipastikan hampir saja Alah menimpakan adzab secara menyeluruh” Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dengan sanad jayyid” (Fatawa ‘Ulama al Baladil haram, hal 629)

Kontribusi: Mas Heru Yulias Wibowo – Redaktur Buletin Da’wah An Nashihah Cikarang Baru, – Bekasi, re-edit oleh: masbadar. Untuk berlangganan bulletin An Nashihah hubungi bag. Sirkulasi: Mas Arifin 08156094080

Sumber: http://masbadar.wordpress.com/2009/05/28/beda-hadiah-dengan-suap/

Resensi Buku Mayat-Mayat Cinta(Catatan Merah Novel ayat-ayat Cinta)

Resensi Buku Mayat-Mayat Cinta

Oleh Abu Maulid

“Wahai Adinda,…

Kupersembahkan hidup dan matiku,… Hanya untuk-Mu

Bila engkau mati,… Aku pun mati”

Seorang pemuda yang sangat mencitai istrinya,…

Ketika sang isteri jatuh sakit, semakin parah sakitnya hingga meninggal dunia.

Hati pemuda itu hancur,… kacau,… sedih,…

Tidak tahu apa yang harus diperbuat,…

Dikarenakan cintanya yang sangat mendalam

Penderitaanya semakin perih,…

Dia merana dan menderita,…

Pada akhirnya dia memilih jalan pintas untuk menyusul sang istri tercinta karena frustasi ditinggal istrinya, iapun nekat menghabisi nyawanya dengan cara menenggak racun serangga. (MMC, hlm. 176)

***

Demikian kisah tragis yang menimpa pasangan pengantin baru yang saling mencintai. Demi kecintaan yang mendalam kepada istrinya, dia nekad menenggak racun serangga untuk menghabisi nyawanya sendiri. Sangat menyedihkan.

Cerita di atas adalah penggalan kisah yang terdapat dalam buku Mayat-Mayat Cinta karya Al-Ustadz ‘Amr bin Suroif Al-Indunisy. Buku ini mengulas masalah mahabbah ‘rasa cinta’ dalam pandangan agama disertai contoh kisah percintaan antara pemuda-pemudi yang terseret ke dalam lembah maksiat dan kesyirikan, sebagaimana yang dikatakan penulis dalam mukadimah (hlm. 17—18),

“Buku ini juga menegur kepada para pemuda dan pemudi yang mereka banyak terjatuh kepada jurang kesyirikan dan kemaksiatan dalam bercinta, sehingga ia memuja perempuan yang ia senangi, hal ini disebabkan karena akalnya sudah hilang dan mabuk kepayang kepada orang yang ia cintai hingga kecintaannya menyamai bahkan melebihi kecintaannya kepada Allah subhanallahu wa ta’ala.”

Penulis terlebih dahulu memulai bukunya dengan menjelaskan makna dan hakikat penciptaan manusia dan jin. Setelah itu, penulis masuk kepada pembahasan mahabbah dan unsur-unsur yang ada di dalamnya, di antaranya macam-macam cinta dan tingkatan-tingkatannya, munculnya Al-‘Isyq ‘sikap belebihan terhadap raca cinta’ dan penyebabnya. Tidak lupa, penulis berusaha memberikan solusi, berupa obat dan terapinya, bagi manusia yang terjatuh ke dalam penyakit ‘isyq. Solusi dan terapi tersebut penulis ambil dari Alquran dan hadits Nabi yang shahih. Penulis menyusun pembahasan buku ini dengan baik dan ilmiah, disertai dalil-dalil dari Alquran dan hadist shahih serta perkataan para ulama, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Al-Imam Ibnul Qayyim, dan Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahumullah-.

Selain itu, setelah pembahasan solusi dan terapi, penulis menambahkan kisah orang-orang bertakwa yang terhindar dari godaan wanita. Berlawanan dengan itu, penulis sebutkan kisah para hamba yang terjatuh ke dalam pelukan cinta yang melenakan. Mereka mengakhiri hidupnya karena frustasi ditinggal pergi pasangan hidupnya. Mereka adalah Mayat-Mayat Cinta. Pada akhir pembahasan, penulis mengkhususkan tulisan berupa nasihat kepada Habiburrahman El-Shirazy, pengarang novel Ayat-Ayat Cinta.

Beberapa hal dari Buku Mayat-Mayat Cinta

Berdasarkan informasi yang saya dapatkan dari selebaran dan internet, buku Mayat-Mayat Cinta (MMC) ini ditujukan untuk membantah novel Ayat-Ayat Cinta (AAC). Setelah saya baca, memang demikian kenyataannya. Judul dan cover buku ini pun dibuat mirip dengan judul dan cover novel AAC. Ada beberapa nukilan dari AAC, kemudian dibantah MMC dan disebutkan letak kesalahannya. Ini bagus, insya Allah. Diharapkan dari sini, pembaca atau kaum muslimin secara khusus mengetahui kesalahan-kesalahan dalam novel tersebut, yakni berupa talbis (pengaburan) kebenaran dari kebatilan. Bahkan, sampai kepada tingkatan kesyirikan. Sebagaimana tampak pada nukilan berikut:

Di dalam novel yang kamu tulis terdapat ungkapan yang berlebihan bahkan sampai tingkatan kesyirikan seperti :

Ucapan seorang wanita: “… saat kau baca suratku anggaplah aku ada dihadapanmu dan menangis sambil mencium telapak kakimu karena rasa terima kasihku pedamu yang tiada taranya”. (Novel AAC hal. 165)

“… Anggaplah saat ini aku sedang mencium kedua telapak kakimu dengan air mata haruku. Kalau kau berkenan dan Tuhan mengizinkan aku ingin jeadi abdi dan budakmu dengan penuh rasa cinta. Menjadi abdi dan budak bagi orang saleh…” (Novel AA C hal. 166)

Dan ucapan “Seorang santri salaf yang belajar talaqqi Qiro’ah sab’ah”. Berkata kepada istrinya :

“Cintaku kepadamu seperti cintanya seorang penyembah kepada sesembahannya” (Novel AAC hal. 382).

(MMC, hlm. 225)

Setelah mengetahui kesalahan yang teranggap fatal dalam novel AAC, hendaknya kita semua memohon ampun kepada Allah, berlindung kepada-Nya dari syubhat dan kesyirikan, dan tidak memandang sesuatu yang jelek menjadi hal yang lumrah atau bahkan menganggapnya sebagai sesuatu yang benar. Allahul musta’an ‘Allahlah sebaik-baik tempat memohon pertolongan’.

Namun, sepertinya ada yang terlewatkan oleh penulis, yakni tidak menjelaskan hukum zatnya. Maksud saya, penulis tidak menjelaskan hukum novel itu sendiri. Padahal ini yang justru penting di dalam buku bantahan/koreksi tersebut. Dengan tidak menyinggung sisi zatnya, ini memungkinkan penafsiran dari pembaca bahwa novel boleh hukumnya, mungkin dengan dalih sebagai sarana dakwah. Novel adalah cerita fiksi. Cerita fiksi, dengan niat sebaik apa pun—termasuk untuk “berdakwah”, tetaplah kedustaan. Terlebih jika novel tersebut mengandung hal-hal yang dapt merusak akidah kaum muslimin. Maka hal ini lebih terlarang lagi.

Dari sisi ejaan dan komposisi bahasa, buku MMC masih sangat perlu untuk direvisi atau diperbaiki. Masih banyak kesalahan ejaan yang mengakibatkan salah penafsiran atau minimal—bagi editor—harus mengernyitkan dahi untuk dapat memahami makna kalimatnya. Ini saya temui di beberapa tempat pada buku MMC (sengaja tidak saya nukil karena waktu yang terbatas). Namun, kesalahan seperti ini wajar pada sebuah buku edisi perdana.

Kesimpulan, buku MMC ini sangat bagus untuk dibaca, terutama bagi mereka yang hatinya sedang “sakit” dilanda asmara cinta. Buku ini juga memberikan faedah mengenai hakikat cinta yang benar dipandang dari sisi syariat.

Penulis : Amr Bin Suroif Al-Indunisy

Ukuran : 14 x 20 cm

Jml. Hlm. : 240 hal

Cover : Art Paper 230 gr + Emboss + UV

Kertas isi : 70 gr

Harga : Rp. 40.000


Sumber: http://antosalafy.wordpress.com/2008/11/18/resensi-buku-mayat-mayat-cinta/

Senin, 01 Juni 2009

Bisa Jadi Kamu Membenci Sesuatu namun Itu Baik Buatmu

Oleh: Ibnu Qayyim Al Jauziah

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.(Al-Baqarah: 216)

Dalam ayat ini ada beberapa hikmah dan rahasia serta maslahat untuk seorang hamba. Karena sesungguhnya jika seorang hamba tahu bahwa sesuatu yang dibenci itu terkadang membawa sesuatu yang disukai, sebagaimana yang disukai terkadang membawa sesuatu yang dibenci, iapun tidak akan merasa aman untuk tertimpa sesuatu yang mencelakakan menyertai sesuatu yang menyenangkan. Dan iapun tidak akan putus asa untuk mendapatkan sesuatu yang menyenangkan menyertai sesuatu yang mencelakakan. Ia tidak tahu akibat suatu perkara, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh hamba. Dan ini menumbuhkan pada diri hamba beberapa hal:

1. Bahwa tidak ada yang lebih bermanfaat bagi hamba daripada melakukan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, walaupun di awalnya terasa berat. Karena seluruh akibatnya adalah kebaikan dan menyenangkan, serta kenikmatan-kenikmatan dan kebahagiaan. Walaupun jiwanya benci, akan tetapi hal itu akan lebih baik dan bermanfaat. Demikian pula, tidak ada yang lebih mencelakakan dia daripada melakukan larangan, walaupun jiwanya cenderung dan condong kepadanya. Karena semua akibatnya adalah penderitaan, kesedihan, kejelekan, dan berbagai musibah.

Ciri khas orang yang berakal sehat, ia akan bersabar dengan penderitaan sesaat, yang akan berbuah kenikmatan yang besar dan kebaikan yang banyak. Dan ia akan menahan diri dari kenikmatan sesaat yang mengakibatkan kepedihan yang besar dan penderitaan yang berlarut-larut.

Adapun pandangan orang yang bodoh itu (dangkal), sehingga ia tidak akan melampaui permukaan dan tidak akan sampai kepada ujung akibatnya. Sementara orang yang berakal lagi cerdas akan senantiasa melihat kepada puncak akibat sesuatu yang berada di balik tirai permukaannya. Iapun akan melihat apa yang di balik tirai tersebut berupa akibat-akibat yang baik ataupun yang jelek. Sehingga ia memandang suatu larangan itu bagai makanan lezat yang telah tercampur dengan racun yang mematikan. Setiap kali kelezatannya menggodanya untuk memakannya, maka racunnya menghalanginya (untuk memakannya). Ia juga memandang perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala bagai obat yang pahit rasanya, namun mengantarkan kepada kesembuhan dan kesehatan. Maka, setiap kali kebenciannya terhadap rasa (pahit)nya menghalanginya untuk mengonsumsinya, manfaatnyapun akan memerintahkannya untuk mengonsumsinya.

Akan tetapi, itu semua memerlukan ilmu yang lebih, yang dengannya ia akan mengetahui akibat dari sesuatu. Juga memerlukan kesabaran yang kuat, yang mengokohkan dirinya untuk memikul beban perjalanannya, demi mendapatkan apa yang dia harapkan di pengujung jalan. Kalau ia kehilangan ilmu yang yakin dan kesabaran maka ia akan terhambat dari memperolehnya. Tetapi bila ilmu yakinnya dan kesabarannya kuat, maka ringan baginya segala beban yang ia pikul dalam rangka memperoleh kebaikan yang langgeng dan kenikmatan yang abadi.

2. Di antara rahasia ayat ini bahwa ayat ini menghendaki seorang hamba untuk menyerahkan urusan kepada Dzat yang mengetahui akibat segala perkara serta ridha dengan apa yang Ia pilihkan dan takdirkan untuknya, karena dia mengharapkan dari-Nya akibat-akibat yang baik.

3. Bahwa seorang hamba tidak boleh memiliki suatu pandangan yang mendahului keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau memilih sesuatu yang tidak Allah Subhanahu wa Ta’ala pilih serta memohon-Nya sesuatu yang ia tidak mengetahuinya. Karena barangkali di situlah kecelakaan dan kebinasaannya, sementara ia tidak mengetahuinya. Sehingga janganlah ia memilih sesuatu mendahului pilihan-Nya. Bahkan semestinya ia memohon kepada-Nya pilihan-Nya yang baik untuk dirinya serta memohon-Nya agar menjadikan dirinya ridha dengan pilihan-Nya. Karena tidak ada yang lebih bermanfaat untuknya daripada hal ini.

4. Bahwa bila seorang hamba menyerahkan urusan kepada Rabbnya serta ridha dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala pilihkan untuk dirinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala pun akan mengirimkan bantuan-Nya kepadanya untuk melakukan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala pilihkan, berupa kekuatan dan tekad serta kesabaran. Juga, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan palingkan darinya segala yang memalingkannya darinya, di mana hal itu menjadi penghalang pilihan hamba tersebut untuk dirinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun akan memperlihatkan kepadanya akibat-akibat baik pilihan-Nya untuk dirinya, yang ia tidak akan mampu mencapainya walaupun sebagian dari apa yang dia lihat pada pilihannya untuk dirinya.

5. Di antara hikmah ayat ini, bahwa ayat ini membuat lega hamba dari berbagai pikiran yang meletihkan pada berbagai macam pilihan. Juga melegakan kalbunya dari perhitungan-perhitungan dan rencana-rencananya, yang ia terus-menerus naik turun pada tebing-tebingnya. Namun demikian, iapun tidak mampu keluar atau lepas dari apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah taqdirkan. Seandainya ia ridha dengan pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala maka takdir akan menghampirinya dalam keadaan ia terpuji dan tersyukuri serta terkasihi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bila tidak, maka taqdir tetap akan berjalan padanya dalam keadaan ia tercela dan tidak mendapatkan kasih sayang-Nya karena ia bersama pilihannya sendiri. Dan ketika seorang hamba tepat dalam menyerahkan urusan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ridhanya kepada-Nya, ia akan diapit oleh kelembutan-Nya dan kasih sayang-Nya dalam menjalani taqdir ini. Sehingga ia berada di antara kelembutan-Nya dan kasih sayang-Nya. Kasih sayang-Nya melindunginya dari apa yang ia khawatirkan, dan kelembutan-Nya membuatnya merasa ringan dalam menjalani taqdir-Nya.

Bila taqdir itu terlaksana pada seorang hamba, maka di antara sebab kuatnya tekanan taqdir itu pada dirinya adalah usahanya untuk menolaknya. Sehingga bila demikian, tiada yang lebih bermanfaat baginya daripada berserah diri dan melemparkan dirinya di hadapan taqdir dalam keadaan terkapar, seolah sebuah mayat. Dan sesungguhnya binatang buas itu tidak akan rela memakan mayat.

(Diterjemahkan oleh Al-Ustadz Qomar Sua’idi ZA, Lc dari buku Al-Fawa`id hal. 153-155)

Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=622

Sourcr: http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/untaian-nasehat/bisa-jadi-kamu-membenci-sesuatu-namun-itu-baik-buatmu/

Kewajibanmu Dalam Keluarga

Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah

Dalam Islam, peran domestik kaum istri memiliki kedudukan yang sangat mulia. Namun musuh-musuh Islam terus berusaha meruntuhkan sendi dasar rumah tangga ini dengan menggalang berbagai opini menyesatkan. “Pemberdayaan perempuan”, “kesetaraan gender”, “kungkungan budaya patriarkhi” adalah sebagian propaganda yang tiada henti dijejalkan di benak wanita-wanita Islam.

Islam, oleh musuh-musuhnya, dituding sebagai ajaran yang tidak sensitif gender. Posisi wanita dalam Islam, menurut mereka, selalu termarginalkan atau terpinggirkan dalam lingkungan yang didominasi dan dikuasai laki-laki.
Permasalahan yang sering ‘diserang’ kaum feminis dan aktivis perempuan anti Islam adalah peran istri/ ibu dalam mengurusi tugas-tugas kerumahtanggaan. Oleh mereka, peran ibu yang hanya mengurusi tugas-tugas domestik hanya akan menciptakan ketidakberdayaan sekaligus ketergantungan istri terhadap suaminya.
Juga dikesankan bahwa wanita yang hanya tinggal di rumah adalah pengangguran dan menyia-nyiakan setengah dari potensi masyarakat. Propaganda ini didukung oleh opini negatif yang berkembang di masyarakat di mana wanita selama ini tak lebih dari sekedar “konco wingking”, wanita tak lepas dari “dapur, kasur, dan sumur”, “masak, macak, manak“, dan sebagainya. Oleh karena itu, agar wanita bisa “maju”, para wanita harus direposisi dalam ruang publik yang seluas-luasnya.
Gerakan ini gencar dilancarkan musuh-musuh Islam karena mereka sangat paham bagaimana merusak Islam dengan menjadikan wanita muslimah sebagai sasaran bidik. Dengan semakin jauhnya kaum wanita dari rumah, mereka berharap pintu-pintu kerusakan akan semakin terbuka lebar. Lebih jauh, jika wanitanya telah rusak, maka tatanan masyarakat Islam akan rusak pula.

Rumahmu Istanamu
Seorang wanita perlu mengetahui bahwa tempat asalnya berdiam adalah dalam rumahnya, dan rumah ini pula yang menjadi tempatnya bekerja. Dalil-dalil dari syariat yang mulia telah menetapkan dan mempersaksikan tentang hal ini, di antaranya:
- Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Ummahatul Mukminin:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
“Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian.” (Al-Ahzab: 33)
Makna ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, adalah perintah untuk selalu menetap dalam rumah. Walaupun sasaran pembicaraan dalam ayat ini ditujukan kepada para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun secara makna wanita selain mereka juga termasuk di dalam perintah ini. (Al-Jami’ li Ahkamil Quran, 14/117)
- Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
لاَ تُخْرِجُوْهُنَّ مِنْ بُيُوْتِهِنَّ وَلاَ يَخْرُجْنَ
“Janganlah kalian mengeluarkan mereka (istri-istri yang telah ditalak) dari rumah-rumah mereka dan janganlah mereka keluar.” (Ath-Thalaq: 1)
Walaupun ayat di atas berkenaan dengan wanita/ istri yang tengah menjalani masa ‘iddah, namun kata ulama, hukumnya tidaklah khusus bagi mereka namun juga berlaku bagi wanita yang lain. (Daurul Mar’ah fi Tarbiyatul Usrah, Asy-Syaikh Shalih bin Abdillah Alu Fauzan, hal. 1. www.alfauzan.net)
- Pelajaran dari kisah antara Nabi Musa ‘alaihissalam dengan dua orang wanita di Madyan, yang Allah kisahkan kepada kita dalam Tanzil-Nya:
وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُوْنَ وَوَجَدَ مِنْ دُوْنِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُوْدَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لاَ نَسْقِيْ حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُوْنَا شَيْخٌ كَبِيْرٌ. فَسَقَى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيْرٌ. فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِيْ يَدْعُوْكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لاَ تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْن. َقَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَاأَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ اْلأَمِيْنُ
“Tatkala Musa sampai di sumber air negeri Madyan, di sana ia menjumpai sekumpulan orang yang sedang meminumkan ternak mereka dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat ternaknya. Musa berkata: ‘Apa maksud kalian berbuat begini, kenapa kalian tidak ikut meminumkan ternak kalian bersama mereka?’ Kedua wanita itu menjawab: ‘Kami tidak dapat meminumkan ternak kami sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan ternak mereka, sedangkan ayah kami1 telah berusia lanjut.’ Maka Musa memberi minum ternak itu untuk menolong keduanya, kemudian ia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu sembari berjalan dengan malu-malu, ia berkata: ‘Ayahku memanggilmu untuk membalas kebaikanmu memberi minum ternak kami.’ Maka tatkala Musa mendatangi ayahnya, ia menceritakan kisah dirinya. Syu’aib pun berkata: ‘Janganlah takut, engkau telah selamat dari orang-orang yang zalim itu (Fir’aun dan pengikutnya).’ Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: ‘Wahai ayahku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja pada kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja pada kita adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya’.” (Al-Qashash: 23-26)
Karena sifat wara dan takwa yang ada pada keduanya, kedua wanita ini enggan untuk bercampur (ikhtilath) dengan para penggembala tersebut. Adapun keduanya keluar rumah untuk memberi minum ternaknya adalah karena darurat, di mana sang ayah telah berusia senja sehingga tak mampu lagi mengurus ternak yang ada. Perjumpaan dengan Nabi Musa ‘alaihissalam membuahkan gagasan di benak salah seorang dari wanita tersebut bahwa telah tiba saatnya untuk mengembalikan perkara pada tempat yang semestinya, ia pun berkata kepada sang ayah: “Wahai ayahku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja pada kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja pada kita adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” Sang ayah pun menyambut usulan putrinya, kemudian berkata kepada Nabi Musa:
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيْدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِيْنَ
“Berkatalah sang ayah: ‘Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua putriku ini, atas dasar engkau bekerja denganku selama delapan tahun dan jika engkau cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah suatu kebaikan darimu, aku tidaklah hendak memberatkanmu. Dan engkau Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik’.” (Al-Qashash: 27) [Daurul Mar’ah, hal. 1]
- Shalat di masjid sebagai satu amalan yang utama disyariatkan kepada kaum lelaki, banyak pahala akan diraih terlebih bila shalat itu dilakukan di Masjid Nabawi. Namun ternyata bersamaan dengan itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kaum wanita untuk shalat di rumah mereka. Ketika istri Abu Humaid As-Sa’idi datang kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya menyatakan: “Wahai Rasulullah, aku senang shalat berjamaah bersamamu.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّيْنَ الصَّلاَةَ مَعِيْ, وَصَلاَتُكِ فِيْ بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِيْ حُجْرَتِكِ, وَصَلاَتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي دَارِكِ, وَصَلاَتُكِ فِيْ دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ, وَصَلاَتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِن ْصَلاَتِكِ فِي مَسْجِدِيْ
“Sungguh aku tahu engkau senang shalat jamaah denganku, namun shalatmu di ruang yang khusus yang ada di rumahmu lebih baik bagimu daripada shalatmu di kamarmu, shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di rumahmu, shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalatmu di masjidku.” (HR. Ahmad, 6/371, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 155)
Bila seorang wanita tetap tinggal di rumahnya, ia akan bisa menunaikan tugas-tugas dalam rumahnya, memenuhi hak-hak suaminya, mendidik anak-anaknya dan membekali dirinya dengan kebaikan. Sementara bila seorang wanita sering keluar rumah, ia akan menyia-nyiakan sekian banyak kewajiban yang dibebankan kepadanya. (Nashihati Lin Nisa’, Ummu Abdillah Al-Wadi‘iyyah, hal. 101)

Keluar rumah saat ada hajat
Dari penjelasan di atas, janganlah dipahami bahwa wanita dilarang secara mutlak untuk keluar dari rumahnya. Bahkan terdapat keterangan dari syariat tentang kebolehan wanita keluar dari rumahnya saat ada kebutuhan dan karena darurat.
- ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkisah: “Suatu malam, Saudah bintu Zam’ah radhiallahu ‘anha keluar dari rumahnya untuk membuang hajat. Ketika itu ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu melihatnya dan mengenalinya. ‘Umar pun berkata: “Engkau Saudah, demi Allah, tidak tersembunyi bagi kami.” Saudah pun kembali menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia ceritakan kejadian tersebut kepada beliau. Saat itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang makan malam di rumahku. Dalam keadaan tangan beliau sedang memegang tulang yang padanya ada sisa daging, turunlah wahyu, beliau pun berkata:
قَدْ أَذِنَ اللهُ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ
“Allah telah mengizinkan kalian untuk keluar rumah guna menunaikan hajat kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 5237 dan Muslim no. 2170)
- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi tuntunan kepada para suami untuk tidak melarang istri mereka shalat di masjid, bila si istri minta izin padanya:
إِذَا اسْتَأْذَنَتِ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلاَ يَمْنَعْهَا
“Apabila istri salah seorang dari kalian minta izin ke masjid maka janganlah ia melarangnya.” (HR. Al-Bukhari no. 873 dan Muslim no. 442)
Dan beliau menyatakan:
لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَََََََ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ
“Janganlah kalian mencegah hamba-hamba perempuan Allah dari masjid-masjid Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 900 dan Muslim no. 442)
- Dari sejarah para shahabiyyah, kita mengetahui ada di antara mereka yang keluar menyertai mahram mereka ke medan jihad untuk memberi minum kepada mujahidin dan mengobati orang yang luka.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata:
كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم يَغْزُوْ بِأُمِّ سُلَيْمٍ وَنِسْوَة مِنَ الأنْصَارِ مَعَهُ إِذَا غَزَا فَيَسْقِيْنَ الْمَاءَ وَيُدَاوِيْنَ الْجَرْحَى
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berperang bersama Ummu Sulaim dan beberapa wanita dari kalangan Anshar ikut bersama beliau ketika beliau berperang. Mereka memberi minum dan mengobati mujahidin yang terluka.” (HR. Muslim no. 1810)
Ummu ‘Athiyah radhiallahu ‘anhu bertutur: “Aku pernah berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tujuh kali peperangan, aku menjaga dan mengurus tunggangan-tunggangan mereka (mujahidin), membuatkan makanan untuk mereka, mengobati orang yang luka dan merawat orang sakit.” (HR. Muslim no. 1812)
- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bila hendak safar, beliau mengundi di antara istri-istrinya untuk menentukan siapa di antara mereka yang akan menyertai beliau dalam safarnya.
Keluarnya wanita dari rumahnya ini merupakan pengecualian dari hukum asal2 dan disebabkan kepentingan yang darurat dengan memperhatikan dan menjaga adab-adab ketika keluar rumah seperti berhijab dan sebagainya, dan juga tidak ada fitnah dan kerusakan yang akan timbul saat ia keluar rumah. Adapun bila wanita keluar rumah untuk bekerja karena memperhatikan bualan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu syaithaniyyah bahwasanya bila wanita tetap tinggal di rumahnya ia akan menjadi pengangguran, maka hal ini tidaklah dibolehkan oleh syariat yang agung dan sempurna ini. Bila sampai wanita keluar dari rumahnya karena memenuhi ajakan manis nan berbisa dari pengikut hawa nafsu tersebut maka akan terjadilah kerusakan yang besar di tengah masyarakat dan sendi-sendi keluarga pun akan hancur.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah berkata: “Islam menetapkan masing-masing dari suami istri memiliki kewajiban yang khusus agar keduanya dapat menjalankan perannya, hingga sempurnalah bangunan masyarakat di dalam dan di luar rumah. Suami berkewajiban mencari nafkah dan penghasilan sedangkan istri berkewajiban mendidik anak-anaknya, memberikan kasih sayang, menyusui dan mengasuh mereka serta tugas-tugas lain yang sesuai baginya seperti mengajar anak-anak perempuan, mengurusi sekolah mereka, merawat dan mengobati mereka dan pekerjaan yang semisalnya yang khusus bagi wanita. Bila wanita sampai meninggalkan kewajiban dalam rumahnya berarti ia menyia-nyiakan rumah berikut penghuninya. Hal tersebut berdampak terpecahnya keluarga baik secara hakiki maupun maknawi.” (Khatharu Musyarakatil Mar’ah lir Rijal fi Maidanil ‘Amal, hal. 5)

Arti wanita dalam keluarga
Keberadaan seorang wanita sebagai istri dan ibu dalam keluarga memiliki arti yang sangat penting, bahkan bisa dikatakan dia merupakan satu tiang yang menegakkan kehidupan keluarga dan termasuk pemeran utama dalam mencetak “orang-orang besar.” Sehingga tepat sekali bila dikatakan: “Di balik setiap orang besar ada seorang wanita yang mengasuh dan mendidiknya.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menyatakan: “Perbaikan masyarakat dapat dilakukan dengan dua cara:
Pertama: Perbaikan secara dzahir, yang dilakukan di pasar-pasar, di masjid-masjid dan selainnya dari perkara-perkara yang dzahir. Ini didominasi oleh lelaki, karena merekalah yang biasa tampil di depan umum.
Kedua: Perbaikan masyarakat yang dilakukan dari balik dinding/ tembok. Perbaikan seperti ini dilakukan di rumah-rumah dan secara umum hal ini diserahkan kepada kaum wanita. Karena wanita adalah pengatur dalam rumahnya sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang ditujukan ketika itu kepada para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَقَرْنَ فِي بُيُوْتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَآتِيْنَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُوْلَهُ إِنَّمَا يُرِيْدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا
“Tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan jangan kalian bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliyyah yang pertama. Tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah hanyalah berkehendak untuk menghilangkan dosa dari kalian wahai ahlul bait dan mensucikan kalian dengan sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab: 33)
Kami yakin setelah ini bahwasanya tidak salah bila kami katakan perbaikan setengah masyarakat itu atau bahkan mayoritasnya tergantung pada wanita dikarenakan dua sebab berikut ini:
Pertama: Kaum wanita itu jumlahnya sama dengan kaum lelaki bahkan lebih banyak, yakni keturunan Adam mayoritasnya wanita sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh As-Sunnah An-Nabawiyyah. Akan tetapi hal ini tentunya berbeda antara satu negeri dengan negeri lain, satu zaman dengan zaman lain. Terkadang di satu negeri jumlah wanita lebih banyak daripada jumlah laki-laki dan terkadang di negeri lain justru sebaliknya. Sebagaimana di satu masa kaum wanita lebih banyak daripada laki-laki namun di masa lainnya justru sebaliknya, laki-laki lebih dominan. Apapun keadaannya wanita memiliki peran yang besar dalam memperbaiki masyarakat.
Kedua: Tumbuh dan berkembangnya satu generasi pada awalnya berada dalam asuhan wanita. Dengan ini jelaslah tentang kewajiban wanita dalam memperbaiki masyarakat.” (Daurul Mar’ah fi Ishlahil Mujtama’, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah)
Bila demikian keadaannya, apakah bisa diterima ucapan yang mengatakan bahwa wanita yang bekerja dalam rumahnya, berkhidmat pada keluarganya adalah pengangguran? Manakah yang hakekatnya lebih utama, lebih berhasil dan lebih bahagia, wanita yang tinggal di rumahnya, menjaga diri dan kehormatannya, melayani suami hingga keluarganya menjadi keluarga yang sakinah, penuh cinta dan kasih sayang, dan ia mengasuh anak-anaknya hingga tumbuh menjadi anak-anak yang berbakti dan berguna bagi masyarakatnya, ataukah seorang wanita yang sibuk mengejar karier di kantor bersaing dengan para lelaki, bercampur baur dengan mereka, sementara suami dan anak-anaknya ia serahkan pengurusannya kepada orang lain? Manakah yang lebih merasakan ketentraman dan ketenangan?
Hendaklah dipahami oleh para wanita bahwa pekerjaan berkhidmat pada keluarga merupakan satu ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pekerjaan di dalam rumahnya bukanlah semata-mata gerak tubuhnya, namun pekerjaan itu memiliki ruh yang bisa dirasakan oleh orang yang mengerti tujuan kehidupan dan rahasia terwujudnya insan. (Daurul Mar’ah, hal. 3)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا, وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, ia menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya maka ia akan masuk surga dari pintu surga mana saja ia inginkan”. (HR. Ahmad, 1/191. Dalam Adabuz Zifaf, hal. 182, Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Hadits ini hasan atau shahih, ia memiliki banyak jalan.”)
Surga sebagai tempat yang sarat dengan kenikmatan yang kekal abadi dapat dimasuki seorang wanita yang menyibukkan dirinya dengan ibadah kepada Allah, menjaga kehormatan dirinya dan taat kepada suaminya, dan tentunya semua ini dilakukan oleh seorang wanita di dalam rumahnya.

Pekerjaan wanita di dalam rumah
Beberapa pekerjaan yang bisa dilakukan wanita di dalam rumahnya, seperti:
Pertama: ibadah kepada Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Ummahatul Mukminin untuk berdiam di rumah mereka, Allah gandengkan perintah tersebut dengan perintah beribadah.
وَقَرْنَ فِي بُيُوْتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَآتِيْنَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُوْلَهُ
“Dan tetaplah kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj seperti tabarrujnya orang-orang jahiliyyah yang terdahulu, tegaklah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Ahzab: 33)
Dengan menegakkan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ini, akan sangat membantu seorang wanita untuk melaksanakan perannya dalam rumah tangga. Dan dengan ia melaksanakan ibadah disertai kekhusyuan dan ketenangan yang sempurna akan memberi dampak positif kepada orang-orang yang ada di dalam rumahnya, baik itu anak-anaknya ataupun selain mereka.
Kedua: Wanita berperan memberikan sakan (ketenangan dan ketenteraman) bagi suami dan juga bagi rumahnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوْا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian pasangan-pasangan (istri) dari diri-diri kalian agar kalian merasakan ketenangan padanya dan Dia menjadikan di antara kalian mawaddah dan rahmah…” (Ar-Rum: 21)
Seorang wanita tidak bisa menjadi sakan bagi suaminya sampai dia memahami hak dan kedudukan suami, kemudian ia melaksanakan hak-hak tersebut dalam rangka taat kepada Allah dengan penuh kesenangan dan keridhaan. Seorang wanita perlu mengetahui tentang besarnya hak suami terhadapnya, sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suami.” (HR. Ahmad, 4/381. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5295 dan Irwa-ul Ghalil no. 1998)
Ketika suaminya telah meninggal pun ia diperintah untuk menahan dirinya dari berhias (ber-ihdad) selama 4 bulan 10 hari.
لاَ يَحِلُّ لامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى الْمَيِّتِ فَوْقَ ثَلاثٍ إلا عَلَى زَوْجٍ فَإِنَّهَا تُحِدُّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad atas mayit lebih dari tiga hari, kecuali bila yang meninggal itu adalah suaminya maka ia berihdad selama 4 bulan 10 hari.” (HR. Muslim no. 1486)
Seorang wanita bisa menjadi sakan bagi rumahnya bila ia menegakkan beberapa hal berikut ini:
1. Taat secara sempurna kepada suaminya dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah
Taat ini merupakan asas ketenangan karena suami sebagai qawwam (pemimpin) tidak akan bisa melaksanakan kepemimpinannya tanpa ketaatan. Dan ketaatan kepada suami ini lebih didahulukan daripada melakukan ibadah-ibadah sunnah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يِحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَْنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang wanita puasa (sunnah) sementara suaminya ada di tempat kecuali setelah mendapatkan izin suaminya.” (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Larangan ini menunjukkan keharaman, demikian diterangkan dengan jelas oleh orang-orang dalam madzhab kami.” (Syarah Shahih Muslim, 7/115). Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana disebutkan dalam Fathul Bari (9/356).
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah juga memberikan alasan dalam hal ini: “Sebabnya adalah suami memiliki hak untuk istimta’ (bermesraan) dengan si istri sepanjang hari, haknya dalam hal ini wajib untuk segera ditunaikan sehingga jangan sampai hak ini luput ditunaikan karena si istri sedang melakukan ibadah sunnah ataupun ibadah yang wajib namun dapat ditunda.” (Syarah Shahih Muslim, 7/115)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: “Hadits ini menunjukkan bahwa lebih ditekankan kepada istri untuk memenuhi hak suami daripada mengerjakan kebajikan yang hukumnya sunnah, karena hak suami itu wajib sementara menunaikan kewajiban lebih didahulukan daripada menunaikan perkara yang sunnah.” (Fathul Bari, 9/356)
“Wajib bagi wanita/ istri untuk taat kepada suaminya dalam perkara yang ia perintahkan dalam batasan kemampuannya, karena hal ini termasuk keutamaan yang Allah berikan kepada kaum lelaki di atas kaum wanita, sebagaimana dalam ayat:
الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلىَ النِّسَاءِ
“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.”
dan ayat:
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“Dan bagi kaum lelaki kedudukannya satu derajat di atas kaum wanita.”
Hadits-hadits shahih yang ada memperkuat makna ini dan menjelaskan dengan terang apa yang akan diperoleh wanita dari kebaikan ataupun kejelekan bila ia mentaati suaminya atau mendurhakainya, demikian dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Adabuz Zifaf, hal. 175-176.
2. Mengerjakan pekerjaan rumah yang dibutuhkan dalam kehidupan keluarga seperti memasak, menjaga kebersihan, mencuci dan semisalnya.
Seorang wanita semestinya melakukan tugas-tugas di atas dengan penuh kerelaan dan kelapangan hati dan kesadaran bahwa hal itu merupakan ibadah kepada Allah. Telah lewat teladan dari para sahabat dalam masalah ini. Mungkin kita masih ingat bagaimana kisah Fathimah bintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menggiling gandum sendiri untuk membuat kue hingga membekaskan kapalan pada kedua tangannya. Ketika akhirnya ia meminta pembantu kepada ayahnya untuk meringankan pekerjaannya maka sang ayah yang mulia memberikan yang lebih baik bagi putri terkasih.
أَلاَ أَدُلُّكُمَا عَلَى خَيْرِ مِمَّا سَأَلْتُمَانِي؟ إِذَا أَخَذْتُمَا مَضَاجِعَكُمَا فَكَبِّرَا اللهَ أَرْبَعًا وَثَلاثِيْنَ, وَاحْمَدَا ثَلاثًا وَثَلاثِيْنَ, وَسَبِّحَا ثَلاثًا وَثلاثِيْنَ, فَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمَا مِمَّا سَأَلْتُمَاهُ
“Maukah aku tunjukkan yang lebih baik bagi kalian berdua daripada seorang pembantu? Bila kalian berdua hendak berbaring di tempat tidur kalian, bertakbirlah 34 kali, bertahmidlah 33 kali dan bertasbihlah 33 kali. Maka yang demikian itu lebih baik bagi kalian daripada apa yang kalian minta.” (HR. Al-Bukhari no. 3113 dan Muslim no. 2727)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak mengingkari khidmat yang dilakukan putrinya dengan penuh kepayahan, padahal putrinya adalah wanita yang utama dan mulia. Bahkan beliau mengakui khidmat tersebut dan memberi hiburan kepada putrinya dengan perkara ibadah yang lebih baik daripada seorang pembantu.
3. Menjaga rahasia suami dan kehormatannya sehingga menumbuhkan kepercayaan suami secara penuh terhadapnya.
4. Menjaga harta suami.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ نِسَاءِ رَكِبْنَ اْلإِبِل صَالِحُ نِسَاءِ فُرَيْشٍ: أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صَغِيْرِهِ, وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ
“Sebaik-baik wanita penunggang unta, wanita Quraisy yang baik, adalah yang sangat penyayang terhadap anaknya ketika kecilnya dan sangat menjaga suami dalam apa yang ada di tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5082 dan Muslim no. 2527).
Maksud sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: adalah wanita itu sangat menjaga dan memelihara harta suami dengan berbuat amanah dan tidak boros dalam membelanjakannya. (Fathul Bari, 9/152)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan keutamaan sifat kasih sayang (dari seorang ibu), tarbiyah yang baik, mengurusi anak-anak, menjaga harta suami, mengurusi dan mengaturnya dengan cara yang baik.” (Fathul Bari, 9/152)
5. Bergaul dengan suami dengan cara yang baik.
Dengan memaafkan kesalahan suami bila ia bersalah, membuatnya ridha ketika ia marah, menunjukkan rasa cinta kepadanya dan penghargaan, mengucapkan kata-kata yang baik dan wajah yang selalu penuh senyuman. Juga memperhatikan makanan, minuman dan pakaian suami.
6. Mengatur waktu sehingga semua pekerjaan tertunaikan pada waktunya, menjaga kebersihan dan keteraturan rumah sehingga selalu tampak rapi hingga menyenangkan pandangan suami dan membuat anak-anak pun betah.
7. Jujur terhadap suami dalam segala sesuatu, khususnya ketika ada sesuatu yang terjadi sementara suami berada di luar rumah. Jauhi sifat dusta karena hal ini akan menghilangkan kepercayaan suami.
Ketiga: mendidik anak-anak (tarbiyatul aulad)
Tugas ini termasuk tugas terpenting seorang wanita di dalam rumahnya, karena dengan memperhatikan pendidikan anak-anaknya berarti ia mempersiapkan sebuah generasi yang baik dan diridhai oleh Rabbul Alamin. Dan tanggung jawab ini ia tunaikan bersama-sama dengan suaminya karena setiap mereka adalah mas’ul yang akan ditanya tentang tanggung jawabnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adhaah manusia dan batu.” (At-Tahrim: 6)
Keempat: mengerjakan pekerjaan lain di dalam rumah bila ada kelapangan waktu dan kesempatan, seperti menjahit pakaian untuk keluarga dan selainnya. Dengan cara ini ia bisa berhemat untuk keluarganya di samping membantu suami menambah penghasilan keluarga.
Apa yang disebutkan di atas dari tugas seorang wanita merupakan tugas yang berat namun akan bisa ditunaikan dengan baik oleh seorang wanita yang shalihah yang membekali dirinya dengan ilmu agama, ditambah bekal pengetahuan yang diperlukan untuk mendukung tugasnya di dalam rumah. Adapun bila wanita itu tidak shalihah, jahil lagi bodoh maka di tangannya akan tersia-siakan tugas yang mulia tersebut.
Wallahu ta’ala a’lam.

1 Adapun penyebutan bahwa nama ayah kedua wanita tersebut adalah Nabi Syu’aib, hal ini tidak tsabit (tidak benar). Hal ini diterangkan oleh Ibnu Katisr dalam Tafsir-nya (3/467), menukil perkataan Ibnu Jarir: “Yang benar bahwa hal seperti ini tidak dapat diketahui kecuali dengan adanya kabar/ atsar, dan tidak ada atsar (berita) yang dapat menjadi pegangan dalam hal ini.” (ed)
2 Yaitu wanita harus tinggal dalam rumahnya dan melakukan pekerjaan di dalam rumah.

Sumber : www.asysyariah.com

Source: http://menikahsunnah.wordpress.com/2007/12/15/kewajibanmu-dalam-keluarga/