Selasa, 02 Juni 2009

Perbedaan Antara Hadiah dan Suap

Hadiah dan suap; dua buah kata yang memiliki konotasi yang sangat berbeda, namun sering kali kedua kata ini menjadi rancu dan kabur di masyarakat. Keduanya sering dikonotasikan dengan satu makna; suap, sebuah kata yang tidak sedap

Sebuah musibah besar; di negeri ini suap menyuap dianggap sebagai suatu hal yang lumrah. Bahkan dalam urusan tertentu dianggap suatu keharusan, sebab tanpa suap maka hampir dipastikan urusan akan jadi rumit dan berbelit. Ditambah lagi korupsi yang juga sudah jadi pemandangan akrab. Nyaris di semua instansi; baik pemerintah ataupun swasta, praktek haram ini kerap selalu terjadi. Padahal jelas sekelai: praktek suap dan korupsi melanggar larangan Tuhan, Allah SWT: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”(Al Baqarah : 188)

Definisi Suap, Hadiah, dan Bonus
Banyak sebutan untuk pemberian kepada pegawai diluar gajinya, seperti suap, hadiah, bonus, fee, dan sebagainya. Sebagian ulama’ memasukan empat pemasukan seorang pegawai, yaitu; gaji, uang suap, hadiah, dan bonus (Subulus Salam 1/216)

Suap disebut juga dengan sogok atau uang pelicin, yang dalam bahasa syar’i disebiut “Risywah” yang maknanya: memberi uang atau sesuatu kepada pegawai dengan harapan mendapatkan kemudahan dalam suatu urusan. Sedangkan hadiah maknanya; pemberian seseorang yang sah kepada orang lain, secara kontan tanpa ada syarat dan balasan. Adapun bonus, maknanya mendekati hadiah, yaitu upah di luar gaji resmi yang diberikan kepada pegawai.

Dalil Tentang Suap & Hadiah
Hukum suap sangat jelas; diharamkan! Baik bagi yang memberi atau yang menerima. Ayat di atas adalah salah satu dalilnya. Dalam menafsirkan ayat diatas Al Haitsami berkata; “janganlah kalian ulurkan kepada hakim pemberian kalian, yaitu dengan cara mengambil muka dan menyuap mereka, dengan harapan mereka akan memberikan hak orang lain kepada kalian, sedangkan kalian mengetahui hal itu tidak halal bagi kalian” (Az Zawajir 1/131)

Dalam mensifati orang-orang Yahudi, Allah swt berfirman; “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram,…”(Al Maidah : 42)

Tentang ayat ini Hasan bin Jubair dalam tafsirnya, bahwa yang dimaksud adalah pemakan uang suap, dan beliau berkata; “Jika seorang qadhi menerima suap, tentu akan membawa kepada kekufuran” (Al Mughni 11/437)

Rasulullah SAW telah bersabda; “Rasulullah SAW melaknat yang memberi suap dan yang menerima suap” (Riwayat Tirmidzi 1/250, Ibnu Majah 2313, Ahmad 1/164, dari Ibnu ‘Umar , dengan sanad shahih)

Adapun hadiah, merupakan pemberian yang dianjurkan dalam syari’at, sekalipun pemberian itu merupakan suatu barang yang remeh. Rasulullah SAW bersabda:
“Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencinta” (Riwayat Bukhari, dalam Adabul Mufrad 594, dengan sanad shahih)

Beda Suap dengan Hadiah
1. Suap adalah pemberian yang diharamkan syari’at, sedangkan hadiah merupakan yang dianjurkan syari’at
2. Suap diberikan dengan satu syarat yang disampaikan secara langsung atau tidak langsung ,sedang hadiah diberikan secara ikhlash tanpa syarat
3. Suap diberikan untuk mencari muka dan mempermudah hal bathil sedangkan hadiah untuk silaturrahim dan kasih sayang
4. Suap dilakukan secara sembunyi-sembunyi berdasar tuntut menuntut, biasanya diberikan dengan berat hati, sedang hadiah diberikan atas sifat kedermawanan
5. Biasanya Suap diberikan sebelum suatu pekerjaan, sedang hadiah setelahnya

Hukum Pemberian Kepada Pegawai
Terdapat riwayat yang menarik untuk menggambarkan permasalahan ini. Dari Abu Hamid As Saidi ra, berkata: “Rasulullah SAW mengangkat seseorang dari suku Azad sebagai petugas penarik zakat dari Bani Sulaim. Orang memanggilnya dengan Ibnu Lutbiah. Ketika daaing Rasulullah SAW mengaudit hasil zakat yang dikumpulkannya, ia berkata; “Ini harta kalian (Harta zakat), dan ini hadiah”. Lalu Rasulullah J berkata kepadanya; “Kalau engkau benar, mengapa engkau tidak duduk saja di rumah ibumu, sampai hadiah itu mendatangimu?” Lalu beliau SAW berkhotbah, memanjatkan pujian kepada Allah, lalu beliau bersabda; “Aku telah tugaskan seseorang dari kalian sebuah pekerjaan yang Allah telah pertanggung jawabkan kepadaku, lalu ia datang dan berkata;”Yang ini harta kalian, sedang yang ini hadiah untuku”. Jika dia benar mengapa ia tidak duduk saja dirumah ayah atau ibunya, kalau benar hadiah itu mendatanginya. Demi Allah, tidak boleh salah seorang dari kalian mengambilnya tanpa hak, kecuali dia bertemu dengan Allah dengan membawa onta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik”. Lalu beliau J mengangkat kedua tangannya hingga nampak ketiaknya dan berkata; “Ya Allah telah aku sampaikan, (Rawi berkata),”Aku lihat langsung dengan kedua mataku, dan aku dengar dengan kedua telingaku” (Riwayat Bukhari 6979, Muslim 1832)

Karena sudah dianggap biasa oleh sebagian besar orang, serta sudah hampir membudaya, seringkali sesuatu yang telah jelas keharamanya dianggap menjadi sesuatu yang lumrah. Sehingga tatkala ada orang yang melakukannya, ia tidak sedikitpun merasa bersalah atau berdosa. Begitu pula dengan suap, yang saat ini sering diistilahkan dengan berbagai istilah yang manis dan rancu, seperti bonus, feee, katebelece, atau istilah lainnya. Maka yang terpenting bagi seorang muslim adalah, harus mengetahui bentuk pemberian itu, dan hukum syari’at tentang hal itu. Sehingga ia tidak mudah tertipu dengan setiap bentuk penyamaran istilah.

Pemberian kepada pegawai terbagi menjadi tiga macam;
Pertama, Pemberian yang diharamkan, baik pemberi maupun penerimanya. Kaidahnya adalah; pemberian tersebut bertujuan untuk sesuatu yang bathil, atau pemberian tersebut memanglah tidak perlu, karena memang telah menjadi tugas dari pegawai tersebut. Contohnya adalah; pemberian kepada pegawai atau petugas, untuk memalsukan data, atau mendahulukan pelayanan kepadanya daripada orang lain, atau untuk memenangkan perkaranya, dan lain-lain.. Diantara permisalan lain adalah pemberian seorang atasan kepada bawahannya agar bawahannya tersebut memalsukan data, atau diam terhadap suatu kesalahan, dan lain-lain.

Kedua, Pemberian yang haram bagi yang mengambilnya, dan diberi keringanan dalam memberikannya. Kaidahnya adalah; pemberian yang diberikan secara terpaksa, karena apa yang telah menjadi haknya, atau pemberian kepada petugas yang memperlambat haknya atau sengaja diperlambat oleh ptugas yang bersangkutan yang seharusnya memberikan pelayanan. Misalnya; pemberian kepada petugas untuk mendapatkan suatu surat tertentu pada suatu instansi, yang mana petugas tersebut menolak mengerjakannya, atau sengaja mmperlambat dan mempersulitnya jika tidak diberi sejumlah uang.

Ketiga; Pemberian yang dibolehkan, bahkan dianjurkan memberi dan mengambilnya. Kaidahnya adalah; pemberian dengan mengharap ridha Allah , untuk mempererat silaturrahim, atau untuk menjalin ukhuwah, dan bukan bertujuan memperoleh keuntungan duniawi.

Sekilas Mengenai Korupsi
Satu hal lagi yang juga sudah nyaris membudaya di negeri ini adalah korupsi. Korupsi dalam istilah syar’i disebut dengan ghulul, yaitu mencuri secara diam-diam. Ini jelas perbuatan haram, Rasulullah SAW telah bersabda, “Barangsiapa yang telah kami tunjuk untuk sebuah pekerjaan, lalu ia menyembunyikan sebuah jarum atau lebih, berarti ia telah berbuat ghulul yang harus ia bawa nanti pada hari kiamat”. Dia (‘Adi) berkata; “Tiba-tiba seorang laki-laki Anshar berkulit hitam tegak berdiri, seakan-akan aku melihatnya, lalu ia berkata; “Ya Rasulullah, tawarkan pekerjaan kepadaku”. Beliau bersabda; “Apa gerangan?”. Dia berkata; “Aku baru saja mendengar engkau berkata begini dan begini”. Lalu beliau bersabda; “Saya tegaskan kembali, Barangsiapa yang kami tunjuk untuk mengerjakan sesuatu, hendaklah ia membawa semuanya, yang kecil ataupun yang besar. Apa yang diberikan kepadanya ia ambil. Dan apa yang dilarang ia mengambilnya, ia tidak mengambilnya” (Riwayat Muslim 1833)

Coba kita renungkan hadits di atas. Mengambil sebuah jarum pun yang bukan haknya, akan dihisap pada hari kiamat. Lalu bagaimanakah dengan orang korupsi yang jumlahnya mencapai ratusan juta, bahkan Milyaran atau triliyunan???

Dampak Negatif Suap & Korupsi
Tidaklah suap berkembang pada komunitas manapun, melainkan kerusakan akan menyebar kepadanya. Kepincangan sosial menjadi dominan. Demikian pula hati manusia menjadi bercerai berai, stabilittas keamanan menjadi terancam, menumbuhkan penghinaan (yang) mengarah kepada ahli kebenaran dan para pembela kebathilan semakin meraja lela. Problematika ini, memunculkan bahaya di masyarakat, dan individunya. Jadi suap termasuk perolehan harta yang keji. Pengaruh buruknya begitu kuat terhadap individu dan masyarakat.(Fatwa Syeikh Fauzan, dalam Al Muntaqa min Fatawa Syeikh Shalih Fauzan,3/261-262)

Syeikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah Bin Baaz (Mufti Saudi Arabia) pernah ditanya; “Apa yang terjadi pada masyarakat yang menjadi lahan subur praktek suap?.

Beliau menjawab; “Tidak diragukan lagi, jika maksiat-maksiat nampak sedemikian jelas, niscaya akan mencerai beraikan masyarakat, dan memutus kasih sayang ditengah anggota (masyarakat), dan menyulut perseteruan dan permusuhan, enggan bekerja sama dalam kebaikan”.

Lalu beliau melanjutkan; “Yang termasuk pengaruh buruk suap dan maksiat lainnya, yaitu munculnya dan merajalelanya degradasi moral, redupnya cahaya akhlaq yang luhur, timbulnya saling mendzalimi antar individu. Pemicunya adalah; adanya tindakan sewenang-wenang terhadap hak-hak orang lain, melalui suap, pencurian, khianat, penipuan dalam muamalah, dan persaksian palsu, dan lain sebagainya. Semuanya termasuk tindak kriminal yang buruk, serta menjadi pemicu kemurkaan Allah , juga menjadi faktor penyulut perseteruan dan permusuhan di kalangan kaum muslimin. Selain itu menjadi faktor turunnya adzab yang bersifat menyeluruh, seperti yang disabdakan Nabi SAW: “BIla manusia melihat kemungkaran lalu tidak merubahnya, maka dipastikan hampir saja Alah menimpakan adzab secara menyeluruh” Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dengan sanad jayyid” (Fatawa ‘Ulama al Baladil haram, hal 629)

Kontribusi: Mas Heru Yulias Wibowo – Redaktur Buletin Da’wah An Nashihah Cikarang Baru, – Bekasi, re-edit oleh: masbadar. Untuk berlangganan bulletin An Nashihah hubungi bag. Sirkulasi: Mas Arifin 08156094080

Sumber: http://masbadar.wordpress.com/2009/05/28/beda-hadiah-dengan-suap/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar