Selasa, 14 Juli 2009

Kesempurnaan Agama Islam

Selasa, 14 Oktober 2003 - 22:29:34 :: kategori Manhaj
Penulis: Al Ustadz Muslim Abu Ishaq
.: :.
Islam sebagai satu-satunya agama yang dipilih oleh Allah Ta'ala sebagaimana firman-Nya : "Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam" (Ali Imran : 19)
Merupakan kebenaran mutlak yang datang dari Allah Ta'ala dan tidak ada kebenaran selain Islam, maka siapa yang menginginkan selain Islam berarti dia memilih kebathilan dan dalam keadaan merugi.

Allah Ta'ala berfirman : "Apakah selain agama Allah (Islam) yang mereka inginkan, padahal hanya kepada Allah-lah berserah diri segala apa
yang ada di langit dan di bumi baik dengan tunduk (taat) maupun dipaksa dan hanya kepada-Nya mereka dikembalikan." (Ali Imran : 83) "Dan siapa yang menginginkan selain Islam sebagai agamanya maka tidak akan diterima darinya agama tersebut dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi." (Ali Imran : 85).

Agama yang haq ini telah disempurnakan oleh Allah Ta'ala dalam segala segi, segala yang dibutuhkan hamba untuk kehidupan dunia dan akhiratnya telah dijelaskan, sehingga
tidak luput satu percakapan melainkan Islam telah mengaturnya.

Allah Ta'ala berfirman : "Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah kusempurnakan nikmat-Ku bagi kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian." (Al Maidah : 3)

Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya berkata : "Ini merupakan nikmat Allah yang terbesar bagi ummat ini, dimana Allah telah menyempurnakan bagi mereka agama mereka sehingga mereka tidak butuh kepada selain agama Islam dan tidak butuh kepada Nabi selain Nabi mereka shalawatullahi wasalaamu alaihi. Karena itulah Allah menjadikan Nabi ummat ini (Muhammad shallallahu alahi wasallam, pent.) sebagai penutup para Nabi dan Allah mengutusnya untuk kalangan manusia dan jin, maka tidak ada perkara yang haram kecuali apa yang dia haramkan, dan tidak ada agama kecuali apa yang dia syariatkan. Segala sesuatu yang dia kabarkan adalah kebenaran dan kejujuran tidak ada kedustaan padanya dan tidak ada penyuluhan." (Tafsir Al Quranul Adzim 3/14. Dar Al Ma'rifat).

Pernah datang seorang Yahudi kepada Umar Ibnul Khattab Radhiyallahu 'anhu lalu ia berkata : [ Wahai Amirul Mukminin! Seandainya ayat ini : "Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Kusempurnakan nikmat-Ku bagi kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian."... turun atas kami, niscaya kami akan jadikan hari turunnya ayat tersebut sebagai hari raya. Maka Umar menjawab : "Sesungguhnya aku tahu pada hari apa turun ayat tersebut, ayat ini turun pada hari Arafah bertepatan dengan hari Jum'at." (Riwayat Bukhari dalam
Shahih-nya nomor 45,4407,4606).

Ayat yang menunjukkan kesempurnaan Islam ini memang patut dibanggakan dan hari turunnya patut dirayakan sebagai hari besar. Namun kita tidak perlu membuat-buat hari raya baru karena Allah menurunkannya tepat pada hari besar yang dirayakan oleh seluruh kaum Muslimin, yaitu hari Arafah
dan hari Jum'at.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai utusan Allah Ta'ala kepada ummat ini telah menunaikan amanah dan menyampaikan risalah dari Allah dengan sempurna. Maka tidaklah beliau shallallahu alaihi wasallam wafat melainkan beliau telah menjelaskan kepada ummatnya seluruh apa yang mereka butuhkan.

Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : "Sungguh Nabi shallallahu alaihi wasallam berkhutbah di hadapan kami dengan suatu khutbah yang beliau tidak meninggalkan sedikitpun perkara yang akan berlangsung sampai hari kiamat kecuali beliau sebutkan ilmunya ... ."
(Shahih Bukhari nomor 6604).

Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya (juz 4 halaman 2217) dari Abu Zaid Amr bin Akhthab radhiallahu 'anhu, ia berkata : "Rasullullah shallallahu alaihi wasallam shalat Shubuh bersama kami.(Selesai shalat) beliau naik ke mimbar lalu berkhutbah di hadapan kami hingga tiba waktu Dhuhur, beliau turun dari mimbar dan shalat Dhuhur. Kemudian beliau naik lagi ke mimbar lalu berkhutbah di hadapan kami hingga tiba waktu Ashar, kemudian beliau turun dari mimbar dan shalat Ashar. (Setelah shalat Ashar) beliau naik ke mimbar lalu mengkhutbahi kami hingga tenggelam matahari. Dalam khutbah tersebut beliau mengabarkan pada kami apa yang telah berlangsung dan apa yang akan berlangsung ... ."

Bid'ah Adalah Kesesatan

Dengan kesempurnaan yang dimiliki, syariat Islam tidak lagi memerlukan penambahan, pengurangan, ataupun perubahan, atau lebih simpelnya hal-hal ini diistilahkan bid'ah dalam agama yang telah diperingatkan dengan keras oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sabda beliau : "Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah ucapan Allah dan sebaik-baik ajaran adalah ajaran Rasulullah. Dan sesungguhnya sejelek-jelek perkara adalah sesuatu yang diada-adakan (dalam agama), karena sesungguhnya sesuatu yang baru diada-adakan (dalam agama) adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah kesesatan." (HR. Muslim no. 867)

Mengapa Bid'ah Dan Pembuatnya Dikatakan Sesat ?

Karena, pertama, bisa jadi pembuat bid'ah itu menganggap ajaran agama ini belum sempurna hingga perlu penyempurnaan dari hasil pemikiran manusia. Dengan anggapan demikian berarti ia mendustakan firman Allah Ta'ala yang memberikan kesempurnaan agama ini.

Kedua, bisa jadi ia menganggap agama ini telah sempurna, namun ada perkara yang belum disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yang berarti ia menuduh
beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah berkhianat dalam penyampaian risalah. Padahal para shahabat seperti Abu Dzar radliyallahu anhu mempersaksikan : "Rasulullah meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burung pun yang mengepak-ngepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau menyebutkan ilmunya pada kami."

Abu Dzar kemudian berkata :
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : "Tidaklah tertinggal sesuatu yang dapat mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka kecuali telah diterangkan
pada kalian." (HR. Thabrani dalam Mu'jamul Kabir, lihat As Shahihah karya Syaikh Albani rahimahullah 4/416 dan hadits ini memiliki pendukung dari riwayat lain).

Imam Malik rahimahullah berkata : Barangsiapa yang mengada-adakan dalam Islam sesuatu kebid'ahan dan menganggapnya baik berarti ia telah menuduh Rasulullah telah berkhianat dalam menyampaikan risalah.

Karena Allah telah berfirman : "Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian." Maka apa yang waktu itu (pada masa Rasulullah dan para shahabat beliau) bukan bagian dari agama, (maka) pada hari ini pun bukan bagiandari agama." (Lihat Al I'tisham oleh Imam Syathibi halaman 37)

Ketiga, bisa jadi pembuat bid'ah itu menganggap dirinya lebih berilmu dibanding Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sehingga dia tahu ada amalan baik yang tidak diketahui dan tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Apakah Teranggap Niat Baik Seseorang Ketika Berbuat Bid'ah ?

Bagaimana bila ada orang yang berkata bahwa ia membuat-buat amalan bid'ah atau mengerjakannya dengan niat yang baik dan ikhlas karena Allah ? Maka dijawab bahwa syarat diterimanya suatu amalan tidaklah sekedar niat baik atau ikhlas, namun juga harus dibarengi dengan Mutaba'ah Ar Rasul (mengikuti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam), adakah contohnya dari beliau atau tidak.

Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan firman Allah Ta'ala (yang artinya) :"Maka siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabb-nya hendaklah dia melakukan amal shalih dan janganlah dia menyekutukan Rabb-nya dengan seorang pun dalam peribadatan kepada-Nya." (QS. Al Kahfi : 10)

Beliau rahimahullah berkata : [ Firman Allah : " ... hendaklah ia melakukan amal shalih ... ." Yang cocok/sesuai dengan syariat Allah. Dan firman-Nya : " ... dan janganlah dia menyekutukan Rabb-nya dengan seorang pun dalam peribadatan kepada-Nya." Yang diinginkan dalam beribadah tersebut adalah wajah Allah saja tanpa menyekutukan-Nya. Dua rukun diterimanya amalan adalah (pertama) harus dilakukan ikhlas karena Allah dan (kedua) amalan tersebut benar dan sesuai dengan syariat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam." (Tafsir Ibnu Katsir 3/114) ].

Terhadap firman Allah Ta'ala : "Dialah yang menciptakan kematian dan kehidupan agar Dia menguji kalian siapa yang paling baik di antara kalian amalannya." (QS. Al Mulk : 2) Al Fudlail bin Iyadl rahimahullah berkata : "Amalan yang paling baik adalah amalan yang paling ikhlas dan paling benar/tetap. Karena amalan yang hanya disertai keikhlasan namun tidak benar maka amalan itu tidak diterima. Dan sebaliknya, bila amalan itu benar namun tidak dibarengi keikhlasan juga tidak akan diterima."

Pernah datang tiga orang shahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam ke rumah istri-istri beliau guna menanyakan tentang ibadah beliau. Tatkala diberitahukan kepada mereka, mereka menganggapnya kecil dan mereka berkata : "Apa kedudukan kita dibanding Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang belakangan." Berkata salah seorang dari mereka : "Aku akan shalat sepanjang malam tanpa tidur selamanya." Yang kedua berkata : "Aku akan berpuasa sepanjang tahun dan tidak akan berbuka." Yang terakhir berkata : "Aku akan menjauhi wanita maka aku tidak akan menikah selamanya."
Lalu datanglah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan ucapan-ucapan mereka disampaikan kepada beliau, maka beliau bersabda : "Apakah kalian yang
mengatakan begini dan begitu ?! Ketahuilah! Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dibanding kalian dan paling bertakwa kepada-Nya, akan tetapi aku puasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku tidur, dan aku juga menikahi wanita. Siapa yang benci (berpaling) terhadap sunnahku maka ia bukan dari golonganku (orang-orang yang menjalankan sunnahku)." (HR. Bukhari dan Muslim)

Kalau kita lihat keberadaan tiga orang ini maka kita dapatkan niatan mereka yang baik yaitu untuk bersungguh-sungguh melakukan ibadah kepada Allah, namun apakah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menyetujui perbuatan mereka? Jawabannya bisa kita lihat dari pernyataan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.

Benar sekali apa yang diucapkan oleh shahabat Nabi, Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu anhu : "Sederhana dalam sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam perbuatan bid'ah."

Orang-orang yang mengadakan bid'ah itu walaupun niatnya baik tetap tertolak dengan dalil hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam : "Siapa yang mengada-adakan sesuatu amalan di dalam urusan (agama) kami ini dengan yang bukan bagian dari agama ini maka amalan itu tertolak." (HR. Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)

Dan beliau bersabda :"Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada
perintahnya dari kami maka amalan itu tertolak." (HR. Muslim). Karena itu yang wajib bagi kaum Muslimin adalah mencukupkan diri dengan ibadah-ibadah yang telah disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya, tanpa menambah
ataupun menguranginya.

Adakah Bid'ah Hasanah ?
Tidak ada dalam agama ini istilah pembagian bid'ah menjadi bid'ah hasanah (bid'ah yang baik) dan bid'ah sayyi'ah (bid'ah yang jelek) karena Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam telah menegaskan : "Setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya
di neraka." (HR. Muslim dalam Shahih-nya, sedang tambahannya diriwayatkan dalam Sunan Nasa'i) Lalu bagaimana dengan ucapan Umar radhiallahu anhu ketika
melihat pelaksanaan shalat tarawih secara berjama'ah : "Sebaik-baik bid'ah adalah perbuatan ini." (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya)

Maka kita katakan bahwa yang dimaukan oleh Umar dengan ucapannya tersebut adalah pengertian bid'ah secara bahasa, bukan secara syari'at, karena Umar mengucapkan perkataan demikian sehubungan dengan berkumpulnya manusia di bawah satu imam dalam pelaksanaan shalat tarawih, sementara shalat tarawih secara berjama'ah telah disyariatkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dimana beliau sempat mengerjakannya selama beberapa malam secara berjama'ah dengan para shahabatnya, kemudian beliau tinggalkan karena khawatir hal itu diwajibkan atas mereka. Sehingga setelah itu manusia mengerjakan tarawih secara sendiri-sendiri atau dengan jama'ah yang terpisah-pisah (berbilang/berkelompok-kelompok).

Lalu pada masa pemerintahannya Umar radhiallahu 'anhu, Umar radhiallahu 'anhu mengumpulkan mereka di bawah pimpinan satu imam sebagaimana pernah dilakukan di zaman Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, karena wahyu telah berhenti turun dengan meninggalnya beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan berarti tidak ada lagi kekhawatiran diwajibkannya perkara tersebut.

Dengan demikian Umar radhiallahu 'anhu menghidupkan kembali sunnah tarawih secara berjama'ah dan ia mengembalikan sesuatu yang sempat terputus, maka teranggaplah perbuatannya tersebut sebagai bid'ah dalam pengertian bahasa, bukan pengertian syari'at, karena bid'ah yang syar'i hukumnya haram, tidak mungkin Umar radhiallahu 'anhu ataupun selainnya dari kalangan shahabat melakukan hal tersebut, sementara mereka tahu peringatan keras dari Nabi radhiallahu 'anhu akan perbuatan bid'ah. (Dzahirut Tabdi’, halaman 43-44).

Adapun di masa Abu Bakar radiallahu anhu, sunnah tarawih secara berjama'ah ini tidak sempat dihidupkan karena khilafah beliau hanya sebentar dan ketika itu beliau disibukkan dengan orang-orang yang murtad dan enggan membayar zakat, demikian keterangan Imam Syathibi dalam kitabnya Al I'tisham, wallahu a'lam. Semoga Allah merahmati shahabat Nabi, Abdullah Bin Umar radiallahu anhuma yang berkata : "Setiap bid'ah adalah sesat sekalipun manusia memandangnya baik."

Hukum Membuat Bid'ah Dalam Agama

Hukum membuat bid'ah dalam agama adalah haram berdasarkan Al Qur'an, As Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan ulama), karena membuat bid'ah berarti menetapkan syariat yang menyaingi syariat Allah, yang berarti menentang dan mengadakan permusuhan terhadap Allah dan Rasul-Nya. (Hurmatul Ibtida' fid Dien wa Kullu Bid'atin Dlalalah, Abu Bakar Jabir Al Jazairi, halaman 8)

Contoh Bid'ah Dalam Hari Raya/Hari Besar Yang Disandarkan Kepada Islam

Dalam syariat agama yang mulia ini hanya dikenal adanya dua hari raya/ied, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Anas bin Malik radhiallahu 'anhu :
Nabi shallallahu alaihi wasallam datang ke Madinah dan ketika itu penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang mereka bisa bersenang-senang di dalamnya pada masa
jahiliyyah, maka beliau bersabda : "Aku datang pada kalian dalam keadaan kalian memiliki dua hari raya yang kalian bersenang-senang di dalamnya pada masa jahiliyyah. Dan sungguh Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari tersebut dengan yang lebih baik yaitu hari Nahr (Iedul Adha) dan Iedul Fitri." (HR Ahmad, Abu Daud, Nasa'i dan Baghawi)

Iedul Adha dan Iedul Fitri lebih baik daripada dua hari raya yang dimiliki penduduk Madinah karena Iedul Adha dan Iedul Fitri ditetapkan dengan syariat Allah yang dipilih-Nya untuk hamba-Nya dan kedua hari raya tersebut mengiringi dua amalan besar dalam Islam yaitu haji dan puasa. Sedangkan hari Nairuz dan Mahrajan ditetapkan dengan pilihan manusia. (Ahkamul Iedain fis Sunnatil Muthahharah, halaman15-16)

Apabila kita telah mengetahui bahwa hari raya dalam Islam hanya ada dua, maka selain dari dua hari raya ini adalah hari raya yang diada-adakan (bid'ah), kemudian dinisbahkan kepada agama.

Contohnya seperti :
- Isra' Mi'raj. Perayaan ini meniru perayaan Paskah (kenaikan Isa Al Masih) umat Nashrani, padahal kita dilarang meniru orang-orang kafir, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sendiri memperingatkan : "Siapa yang meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk golongan kaum
tersebut."
- Perayaan Nuzul Qur'an
- Perayaan tahun baru Islam 1 Muharram, yang meniru perayaan tahun baru Masehi.
- Maulid Nabi, yang meniru Nashrani dalam perayaan Natal.
- Dan lain-lain.
Bila ada yang mengatakan bahwa orang-orang yang mengadakan dan merayakan perayaan seperti Maulid Nabi adalah karena cinta kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dan mengagungkan beliau, maka kita jawab bahwa para shahabat
Nabi shallallahu alaihi wasallam dan generasi terbaik setelah mereka (generasi Salafus Shalih) tidak pernah melakukan hal tersebut, padahal mereka adalah orang-orang
yang tidak diragukan kecintaannya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan tidak disangsikan pengagungan mereka kepada beliau, serta mereka adalah orang-orang yang sangat bersemangat untuk melakukan amalan kebajikan. Seandainya perayaan Maulid itu baik, niscaya mereka adalah orang pertama yang melakukannya. Dan demikian yang kita katakan terhadap setiap amalan yang diada-adakan dalam agama ini. Seandainya amalan itu baik maka para pendahulu kita yang shalih tentunya telah mendahului kita dalam mengamalkannya.

Ketahuilah, pernyataan cinta kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bukan diwujudkan dengan mengadakan perayaan seperti Maulid, namun bukti cinta kepada beliau diwujudkan (dibuktikan) dengan mengikuti beliau, menaati, mengikuti perintahnya, menghidupkan sunnahnya baik secara lahir maupun batin, menyebarkan dakwah beliau, berjihad untuk menegakkan dakwah baik dengan hati, lisan, maupun anggota badan. Inilah jalan yang ditempuh oleh As Sabiqunal Awwaluna dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Jalan Keluar dari Kebid'ahan

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan dalam banyak haditsnya jalan keluar dari kebid'ahan jauh sebelum terjadinya bid'ah. Beliau bersabda : "Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalau kalian berpegang teguh dengannya niscaya kalian tidak akan tersesat sepeninggalku selamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku." (HR. Hakim dan dishahihkan dalam Shahihul Jami’ oleh Syaikh Albani rahimahullah)

Beliau juga menasehatkan : "Aku wasiatkan kepada kalian untuk takwa kepada Allah Azza wa Jalla, taat dan mendengar sekalipun kalian dipimpin oleh seorang hamba sahaya karena siapa saja diantara kalian yang hidup sepeninggalku niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka (ketika itu) wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah dengan gigi gerahammu dan hati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang baru karena setiap yang bid'ah itu sesat." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih)

Satu-satunya jalan menyelamatkan diri dari bid'ah adalah berpegang teguh pada dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam serta Petunjuk Salafus Shalih, pemahaman mereka, manhaj mereka, dan pengamalan mereka terhadap dua wahyu, karena mereka adalah orang yang paling besar cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya, paling kuat ittiba'-nya, paling dalam ilmunya dan paling luas pemahamannya terhadap Al Qur'an dan As Sunnah.

Dengan cara ini seorang Muslim akan mampu berpegang teguh dengan agamanya dan bebas dari segala kotoran yang mencemari dan jauh dari semua kebid'ahan yang menyesatkan. Dan jalan ini mudah bagi yang dimudahkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Wallahu a'lam bishawwab.

(Dikutip dari majalah Salafy, ditulis oleh Al Ustadz Muslim Abu Ishaq - murid Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi'y rahimahullah, Yaman)

Sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=282

Perayaan Isra' Mi'raj Rasulullah dalam sorotan Islam

Ahad, 25 Januari 2004 - 10:18:32 :: kategori Fatwa-Fatwa
Penulis: Syaikh Abdullah Bin Abdul Aziz Bin Baz
.: :.
Segala puji bagi Allah, sholawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.

Amma ba’du :
Tidak diragukan lagi, bahwa isra’ dan mi’raj merupakan tanda kekuasaan Allah yang menunjukkan atas kebenaran kerasulan Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan keagungan kedudukannya di sisi Tuhannya, selain juga membuktikan atas kehebatan Allah dan kebesaran kekuasaan-Nya atas semua makhluk.
Firman Allah subhaanahu wa ta’ala :
]سبحان الذي أسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام إلى المسجد الأقصى الذي باركنا حوله لنريه من آياتنا إنه هو السميع البصير [.
“MahaSuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya, agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda tanda (kebesaran) kami, sesungguhnya Dia adalah MahaMendengar lagi MahaMelihat” ( QS. Al Isra’: 1).

Diriwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya Allah telah menaikannya ke langit, dan pintu pintu langit itu terbuka untuknya, hingga beliau sampai ke langit yang ketujuh, kemudian beliau diajak bicara oleh Allah serta diwajibkan sholat lima waktu, yang semula diwajibkan lima puluh waktu, tetapi Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa kembali kepada-Nya minta keringanan, sehingga dijadikannya lima waktu, namun demikian, walaupun yang diwajibkan lima waktu saja, tetapi pahalanya tetap seperti lima puluh waktu, karena perbuatan baik itu akan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Hanya kepada Allah lah kita ucapkan puji dan syukur atas segala ni’mat-Nya.

Tentang malam saat diselenggarakannya Isra’ dan Mi’raj itu belum pernah diterangkan penentuan ( waktunya ) oleh Rasulullah, tidak pada bulan rajab, atau ( pada bulan ) yang lain, jikalau ada penentuannya maka itupun bukan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, menurut para ulama, hanya Allah lah yang mengetahui akan hikmah pelalaian manusia dalam hal ini.

Seandainya ada ( hadits ) yang menentukan ( waktu ) isra’ dan mi’raj, tetap tidak boleh bagi kaum muslimin untuk menghususkannya dengan ibadah ibadah tertentu, selain juga tidak boleh mengadakan upacara perkumpulan apapun, karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak pernah mengadakan upacara upacara seperti itu, dan tidak pula menghususkan suatu ibadah apapun pada malam tersebut.

Jika peringatan malam tersebut disyariatkan, pasti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada umatnya, melalui ucapan maupun perbuatan. Jika pernah dilakukan oleh beliau, pasti diketahui dan masyhur, dan tentunya akan disampaikan oleh para sahabat kepada kita, karena mereka telah menyampaikan dari Nabi apa apa yang telah dibutuhkan umat manusia, mereka belum pernah melanggar sedikitpun dalam masalah agama, bahkan merekalah orang yang pertama kali melakukan kebaikan setelah Rasulullah, maka jikalau upacara peringatan malam isra’ dan mi’raj itu ada tuntunannya, niscaya para sahabat akan lebih dahulu menjalankannya.

Nabi Muhammad adalah orang yang paling banyak memberi nasehat kepada manusia, beliau telah menyampaikan risalah kerasulannya dengan sebaik-baiknya, dan menjalankan amanat Tuhannya dengan sempurna, oleh karena itu jika upacara peringatan malam isra’ dan mi’raj serta bentuk bentuk pengagungannya itu berasal dari agama Allah, tentunya tidak akan dilupakan dan disembunyikan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi karena hal itu tidak ada, jelaslah bahwa upacara dan bentuk bentuk pengagungan malam tersebut bukan dari ajaran Islam sama sekali.

Allah subhaanahu wa ta’ala telah menyempurnakan agamaNya bagi umat ini, mencukupkan ni’matNya kepada mereka, dan mengingkari siapa saja yang berani mengada adakan sesuatu hal baru dalam agama, karena cara tersebut tidak dibenarkan oleh Allah subhaanahu wa ta’ala.

Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman :
] اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا [.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni’matKu, dan telah Kuridloi Islam sebagai agama bagimu” ( QS. Al Maidah, 3 ).

] أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله ولولا كلمة الفصل لقضي بينهم وإن الظالمين لهم عذاب أليم [.
“Apakah mereka mempunyai sesembahan sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diridloi Allah ?, sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang orang yang dzalim itu akan memperoleh azab yang pedih” ( QS. As syura, 21 ).

Dalam hadits hadits shoheh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kita agar waspada dan menjauhkan diri dari perbuatan bid’ah, dan beliau juga menjelaskan bahwa bid’ah itu sesat, sebagai peringatan bagi umatnya sehingga mereka menjauhinya, karena bid’ah itu mengandung bahaya yang sangat besar.

Dari Aisyah, Radliyallahu ‘anhu berkata : bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
" من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ".

“Barang siapa yang mengada adakan sesuatu perbuatan ( dalam agama ) yang sebelumnya tidak pernah ada, maka amalan itu tertolak”.

Dan dalam riwayat imam Muslim, Rasulullah bersabda :
" من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد ".
“Barang siapa mengerjakan suatu perbuatan yang belum pernah kami perintahkan, maka ia tertolak”.

Dalam shahih Muslim dari Jabir rodhiAllah ‘anhu ia berkata : bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam salah satu khutbah Jum’at nya :
" أما بعد, فإن خير الحديث كتاب الله، وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم، وشر الأمور محدثاتها، وكل بدعة ضلالة ".

“Amma ba’du : sesungguhnya sebaik baik perkataan adalah Kitab Allah ( Al Qur’an ), dan sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan sejelek jelek perbuatan ( dalam agama) adalah yang diada adakan, dan setiap bid’ah ( yang diada adakan) itu sesat” ( HR. Muslim ).

Dan dalam kitab kitab Sunan diriwayatkan dari Irbadh bin Saariyah rodhiAllahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehati kami dengan nasehat yang mantap, (jika kita mendengarnya) hati kami bergetar, dan air mata kami akan berlinang, maka kami berkata kepadanya : wahai Rasulullah, seakan akan nasehat itu seperti nasehatnya orang yang akan berpisah, maka berilah kami nasehat, maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

" أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن تأمر عليكم عبد فإنه من يعش منكم فسيرى اختلافا كثيرا، فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ, وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة ".
“Aku wasiatkan kepada kamu sekalian agar selalu bertakwa kapada Allah, mendengarkan dan mentaati perintahNya, walaupun yang memerintah kamu itu seorang hamba, sesungguhnya barang siapa diantara kalian hidup ( pada masa itu ), maka ia akan menjumpai banyak perselisihan, maka ( ketika ) itu kamu wajib berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafaurrasyidin yang telah mendapat petunjuk sesudahku, pegang dan gigitlah dengan gigi gerahammu sekuatnya, dan sekali kali janganlah mengada ada hal yang baru ( dalam agama ), karena setiap pengadaan hal yang baru itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat ”.

Dan masih banyak hadits hadits lain yang semakna dengan hadits ini, para sahabat dan para ulama salaf telah memperingatkan kita agar waspada terhadap perbuatan bid’ah serta menjauhinya.

Dan tidaklah hal itu (peringatan agar waspada terhadap bid’ah), melainkan disebabkan karena (bid’ah itu) adalah tambahan terhadap agama, dan ( bid’ah itu ) adalah ( pembuatan ) syariat yang tidak diizinkan oleh Allah, karena hal itu menyerupai perbuatan musuh musuh Allah yaitu bangsa Yahudi dan Nasrani.

Adanya penambahan penambahan dalam agama itu (berarti) menuduh agama Islam kurang dan tidak sempurna, dengan jelas ini tergolong kerusakan besar, kemungkaran yang sesat dan bertentangan dengan firman Allah subhaanahu wa ta’ala :

] اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الأسلام دينا [.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni’matKu dan Kuridloi Islam sebagai agama bagimu” ( QS. Al Maidah, 3 ).

Selain itu, ( penambahan ) juga bertentangan dengan hadits hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang memperingatkan kita dari perbuatan bid’ah dan agar menjauhinya.

Kami berharap, semoga dalil dalil yang telah kami sebutkan tadi cukup memuaskan bagi mereka yang menginginkan kebenaran, dan mau mengingkari perbuatan bid’ah, yakni bid’ah mengadakan upacara peringatan malam isra’ dan mi’raj, dan supaya kita sekalian waspada terhadapnya, karena sesungguhnya hal itu bukan dari ajaran Islam sama sekali.

Ketika Allah telah mewajibkan orang orang muslim itu agar saling nasehat menasehati dan saling menerangkan apa apa yang telah disyareatkan Allah dalam agama, serta mengharamkan penyembunyian ilmu, maka kami memandang perlu untuk mengingatkan saudara saudara kami dari perbuatan bid’ah ini, yang telah menyebar di berbagai belahan bumi, sehingga sebagian orang mengira itu berasal dari agama.

Hanya Allah lah tempat bermohon, untuk memperbaiki keadaan kaum muslimin ini, dan memberi kepada mereka kemudahan dalam memahami agama Islam , semoga Allah I melimpahkan taufiq kepada kita semua untuk tetap berpegang teguh dengan agama yang haq ini, tetap konsisten menjalaninya dan meninggalkan apa apa yang bertentangan dengannya, hanya Allah lah penguasa segala galanya.

Semoga sholawat dan salam selalu terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, Aamin.

(Dikutip dari الحذر من البدع Tulisan Syaikh Abdullah Bin Abdul Aziz Bin Baz, Mufti Saudi Arabia. Penerbit Departemen Agama Saudi Arabia. Edisi Indonesia "Waspada terhadap Bid'ah".)

Sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=471

Hadits Palsu Seputar Amalan Bulan Rajab

Senin, 22 Agustus 2005 - 23:54:44 :: kategori Fiqh
Penulis: Al Ustadz Abu Al Mundzir Dzul Akmal As Salafiy.
.: :.
1. حديث : رجب شهر الله, وشعبان شهري, ورمضان شهر أمتى. فمن صام من رجب يومين. فله من الأجر ضعفان, ووزن كل ضعف مثل جبال الدنيا, ثم ذكر أجر من صام أربعة أيام, ومن صام ستة أيام, ثم سبعة أيام ثم ثمانية أيام, ثم هكذا: إلى خمسة عشر يوما منه.

Artinya : “Rajab adalah bulan Allah, Sya`ban bulan Saya (Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam), sedangkan Ramadhan bulan ummat Saya. Barang siapa berpuasa di bulan Rajab dua hari, baginya pahala dua kali lipat, timbangan setiap lipatan itu sama dengan gunung gunung yang ada di dunia, kemudian disebutkan pahala bagi orang yang berpuasa empat hari, enam hari, tujuah hari, delapan hari, dan seterusnya, sampai disebutkan ganjaran bagi orang berpuasa lima belas hari.

Hadits ini “Maudhu`” (Palsu). Dalam sanad hadits ini ada yang bernama Abu Bakar bin Al Hasan An Naqqaasy, dia perawi yang dituduh pendusta, Al Kasaaiy- rawi yang tidak dikenal (Majhul). Hadits ini juga diriwayatkan oleh pengarang Allaalaiy dari jalan Abi Sa`id Al Khudriy dengan sanad yang sama, juga Ibnu Al Jauziy nukilan dari kitab Allaalaiy.

1. حديث : من صام ثلاثة أيام من رجب, كتب له صيام شهر, من صام سبعة أيام من رجب, أغلق الله عنه سبعة أبواب من النار, ومن صام ثمانية أيام من رجب, فتح الله له ثمانية أبواب من الجنة, ومن صام نصف رجب حاسبه الله حسابا يسيرا.
Artinya : “Barang siapa berpuasa tiga hari di bulan Rajab, sama nilainya dia berpuasa sebulan penuh, barang siapa berpuasa tujuh hari Allah Subhana wa Ta`ala akan menutupkan baginya tujuh pintu neraka, barang siapa berpuasa delapan hari di bulan Rajab Allah Ta`ala akan membukakan baginya delapan pintu sorga, siapapun yang berpuasa setengah dari bulan Rajab itu Allah akan menghisabnya dengan hisab yang mudah sekali.”

Diterangkan di dalam kitab Allaalaiy setelah pengarangnya meriwayatkannya dari Abaan kemudian dari Anas secara Marfu` : Hadits ini tidak Shohih, sebab Abaan adalah perawi yang ditinggalkan, sedangkan `Amru bin Al Azhar pemalsu hadits, kemudian dia jelaskan : Dikeluarkan juga oleh Abu As Syaikh dari jalan Ibnu `Ulwaan dari Abaan, adapun Ibnu `Ulwaan pemalsu hadits.

2. حديث : إن شهر رجب شهر عطيم. من صام منه يوما كتب له صوم ألف سنة – إلخ.
Artinya : “Sesungguhnya bulan Rajab adalah bulan yang mulia. Barang siapa berpuasa satu hari di bulan tersebut berarti sama nilainya dia berpuasa seribu tahun-dan seterusnya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Syaahin dari `Ali secara Marfu`. Dan dijelaskan dalam kitab Allaalaiy : Hadits ini tidak Shohih, sedangkan Haruun bin `Antarah selalu meriwayatkan hadits-hadits yang munkar.

3. حديث : من صام يوما من رجب, عدل صيام شهر-إلخ
Artinya : “Barang siapa yang berpuasa di bulan Rajab satu hari sama nilainya dia berpuasa sebulan penuh dan seterusnya”.

Diriwayatkan oleh Al Khathiib dari jalan Abi Dzarr Marfu`. Di sanadnya ada perawi : Al Furaat bin As Saaib, dia ini perawi yang ditinggalkan.

Berkata Al Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya “Al Amaaliy” : sepakat diriwayatkan hadist ini dari jalan Al Furaat bin As Saaib- dia ini lemah- Rusydiin bin Sa`ad, dan Al Hakim bin Marwaan, kedua perawi ini lemah juga.

Sesungguhnya Al Baihaqiy juga meriwayatkan hadits ini di kitabnya : “Syu`abul Iman” dari hadits Anas, yang artinya : “Siapapun yang berpuasa satu hari di bulan Rajab sama nilainya dia berpuasa satu tahun.” Di menyebutkan hadits yang sangat panjang, akan tetapi di sanad hadits ini juga ada perawi ; `Abdul Ghafuur Abu As Shobaah Al Anshoriy, dia ini perawi yang ditinggalkan. Berkata Ibnu Hibbaan : “Dia ini termasuk orang orang yang memalsukan hadits”.

4. حديث : من أحيا ليلة من رجب, وصام يوما. أطعمه الله من ثمار الجنة – إلخ.
Artinya : “Barang siapa yang menghidupkan satu malam bulan Rajab dan berpuasa di siang harinya, Allah Ta`ala akan memberinya makanan dari buah buahan sorga- dan seterusnya.”

Diriwayatkan dalam kitab Allaalaiy dari jalan Al Husain bin `Ali Marfu`: Berkata pengarang kitab : Hadits ini Maudhu` (palsu).

5. ديث : أكثروا من الاستغفار فى شهر رجب. فإن لله فى كل ساعة منه عتقاء من النار, وإن لله لا يدخلها إلا من صام رجب.
Artinya : “Perbanyaklah Istighfar di bulan Rajab. Sesungguhnya Allah Ta`ala membebaskan hamba hambanya setiap sa`at di bulan itu, dan Sesungguhnya Allah Ta`ala mempunyai kota kota di Jannah-Nya yang tidak akan dimasuki kecuali oleh orang yang berpuasa di bulan itu.

Dikatakan dalam “Adz dzail” : Dalam sanadnya ada rawi namanya Al Ashbagh : Tidak bisa dipercaya.

6. حديث : فى رجب يوم وليلة, من صام ذلك اليوم, وقام تلك الليلة. كان له من الأجر كمن صام مائة-إلخ.
Artinya : “Di bulan Rajab ada satu hari dan satu malam, siapapun yang berpuasa di hari itu, dan mendirikan malamnya. Maka sama nilainya dengan orang yang berpuasa seratus tahun dan seterusnya.

Dikatakatan dalam “Adz dzail” : Di dalam sanadnya ada nama rawi Hayyaj, dia adalah rawi yang ditinggalkan.

Dan demikian disebutkan tentang : “Berpuasa satu hari atau dua hari di bulan itu.”

Disebutkan juga dalam “Adz dzail : Sanad hadits ini penuh dengan kegelapan sebahagian atas sebahagian lainnya, di dalam sanadnya ada perawi perawi yang pendusta : Dan demikian diriwayatkan : “Bahwa Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam berkhutbah pada hari jum`at sepekan sebelum bulan Rajab. Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam berkata : “Hai sekalian manusia! Sesungguhnya akan datang kepada kalian satu bulan yang mulia. Rajab bulan adalah bulan Allah yang Mulian, dilipat gandakan kebaikan di dalamnya, do`a do`a dikabulkan, kesusahan kesusahan akan di hilangkan.” Ini adalah Hadist yang Munkar.

Dan dalam hadits yang lain : “Barang siapa berpuasa satu hari di bulan Rajab, dan mendirikan satu malam dari malam malamnya, maka Allah Tabaraka wa Ta`ala akan membangkitkannya dalam keadaan aman nanti di hari Kiamat- dan seterusnya.”

Di dalam sanad hadits ini : Kadzaabun (para perawi pendusta).

Demikian juga hadits : “Barang siapa yang menghidupkan satu malam di bulan Rajab, dan berpuasa di siang harinya: Allah akan memberikan makanan buatnya buah buahan dari Sorga- dan seterusnya.”

Didalam sanadnya : Para perawi pembohong/pemalsu hadits.

Demikian juga hadits : “Rajab bulan Allah yang Mulia, dimana Allah mengkhususkan bulan itu buat diri-Nya. Maka barang siapa yang berpuasa satu hari di bulan itu dengan penuh keimanan dan mengharapkan Ridho Allah, dia akan dimasukan ke dalam Jannah Allah Ta`ala- dan seterusnya.”

Didalam sanadnya : Para perawi yang ditinggalkan.

Demikian juga hadits : “Rajab bulan Allah, Sya`ban bulan Saya (Rasulullahu Shollallahu `alaihi wa Sallam, Ramadhan bulan ummat Saya.” Demikian juga hadits : “Keutamaan bulan Rajab di atas bulan bulan lainnya ialah : seperti keutamaan Al Quran atas seluruh perkataan perkataan lainnya- dan seterusnya.”
Berkata Al Imam Ibnu Hajar : Hadits ini Palsu.
Berkata `Ali bin Ibraahim Al `Atthor dalam satu risalahnya : “Sesungguhnya apa apa yang diriwayatkan tentang keutamaan tentang puasa di bulan Rajab, seluruhnya Palsu dan Lemah yang tidak ada ashol sama sekali. Berkata dia : “`Abdullah Al Anshoriy tidak pernah puasa di bulan Rajab, dan dia melarangnya, kemudian berkata : “Tidak ada yang shohih dari Nabi Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam satupun hadist mengenai keutamaan bulan Rajab.” Kemudian dia berkata : Dan demikian juga : “Tentang amalan amalan yang dikerjakan pada bulan ini : Seperti mengeluarkan Zakat di dalam bulan Rajab tidak di bulan lainnya.” Ini tidak ada ashol sama sekali.

Dan demikian juga, “Dimana penduduk Makkah memperbanyak `Umrah di bulan ini tidak seperti bulan lainnya.” Ini tidak ada asal sama sekali sepanjang pengetahuan saya. Dia berkata : “Diantara yang diada-adakan oleh orang yang `awwam ialah : “Berpuasa di awal kamis di bulan Rajab,” yang keseluruhannya ini adalah : Bid`ah.

Dan diantara yang mereka ada adakan juga di bulan Rajab dan Sya`ban ialah : “Mereka memperbanyak ketaatan kepada Allah melebihi dari bulan bulan lainnya.”

Adapun yang diriwayatkan tentang : “Bahwa Allah Ta`ala memerintahkan Nabi Nuh `Alaihi wa Sallam untuk membuat kapalnya di bulan Rajab ini, serta diperintahkan kamu Mu`minin yang bersama dia untuk berpuasa di bulan ini.” Ini Hadits Maudhu` (Palsu).

Diantara bid`ah-bid`ah yang menyebar di bulan ini adalah :
1. Sholat Ar Raghaaib.
Sholat Ar Raghaaib ini diamalkan di setiap awal Jum`at di bulan Rajab.

Ketahuilah semoga Allah Tabaraka wa Ta`ala merahmatimu- bahwa mengagungkan hari ini, malam ini sesungguhnya diadakan ke dalam Din Islam ini setelah abad keempat Hijriyah. (Lihat literatur berikut ini tentang bid`ahnya sholat Raghaib :
1. “Iqtida` As Shiratul Mustaqim” : hal.283. Dan “Tulisan Ilmiyah diantara dua orang Imam ; Al `Izz bin `Abdus Salam dan Ibnu As Sholah sekitar Sholat Raghaaib.”
2. “Al Ba`itsu `Ala Inkari Al Bida` wa Al Hawaadist” : hal. 39 dan seterusnya.
3. “Al Madkhal” oleh Ibnu Al Haaj : 1/293.
4. “As Sunan wal Mubtadi`aat” : hal. 140.
5. “Tabyiinul `Ujab bima warada fi Fadhli Rajab” : hal. 47.
6. “Fataawa An Nawawiy” : hal. 26.
7. “Majmu` Al Fataawa oleh Ibnu Taimiyah” : 2/2.
8. “Al Maudhuu`aat” : 2/124.
9. “Allaalaaiy Al mashnu`ah” : 2/57.
10. “Tanzihus Syari`ah” : 2/92.
11. “Al Mughni `anil Hifdzi wal Kitab” : hall. 297- serta bantahannya : Jannatul Murtaab.
12. “Safarus Sa`adah” : hal. 150.

Sepakat `Ulama tentang hadits-hadits yang diriwayatkan mengenai keutamaan bulan Rajab adalah palsu, sesungguhnya telah diterangkan oleh sekelompok Al Muhaditsin tentang palsunya hadits sholat Ar Raghaaib diantara mereka ialah : Al Haafidz Ibnu hajar, Adz Dzahabiy, Al `Iraaqiy, Ibnu Al Jauziy, Ibnu Taimiyah, An Nawawiy dan As Sayuthiy dan selain dari mereka. Kandungan dari hadits-hadits yang palsu itu ialraah mengenai keutamaan berpuasa pada hari itu, mendirikan malamnya, dinamakan “shalat Ar Raghaaib,” para ahli Tahqiiq dikalangan ahli ilmu telah melarang mengkhususkan hari tersebut untuk berpuasa, atau mendirikan malamnya melaksanakan sholat dengan cara yang bid`ah ini, demikian juga pengagungan hari tersebut dengan cara membuat makanan makanan yang enak-enak, mengishtiharkan bentuk bentuk yang indah indah dan selain yang demikian, dengan tujuan bahwa hari ini lebih utama dari hari hari yang lainnya.

2. Sholat Ummu Daawud di pertengahan bulan Rajab.

Demikian juga hari terakhir dipertengahan bulan Rajab, dilaksanakan sholat yang dinamakan sholat “Ummu Daawud” ini juga tidak ada asholnya sama sekali. “Iqtidaus Shiraatul Mustaqim” : hal. 293.

Berkata Al Imam Al Hafidz Abu Al Khatthaab : “Adapun sholat Ar Raghaaib, yang dituduh sebagai pemalsu hadits ini ialah : `Ali bin `Abdullah bin jahdham, dia memalsukan hadits ini dengan menampilkan rawi rawi yang tidak dikenal, tidak terdapat diseluruh kitab.” Pembahasan Abu Al Khatthaab ini terdapat dalam :
“Al Baa`its `Ala Inkaril Bida` wal Ahadist” : hal. 40.
Abul Hasan : `Ali bin `Abdullah bin Al Hasan bin Jahdham, As Shufiy, pengarang kitab : “Bahjatul Asraar fit Tashauf”.
Berkata Abul Fadhal bin Khairuun : Dia pendusta.
Berkata selainnya : Dia dituduh sebagai pemalsu hadits sholat Ar Raghaaib.

Lihat terjemahannya dalam : “Al `Ibir fi Khabar min Ghubar.” : (3/116), “Al Mizan” : (3/142), “Al Lisaan” : (4/238), “Maraatul Jinaan” (3/28), “Al Muntadzim” : (8/14), “Al `Aqduts Tsamiin” : (6/179).

Asal daripada sholat ini sebagaimana diceritakan oleh : At Thurthuusyiy dalam “kitabnya” : “Telah mengkhabarkan kepada saya Abu Muhammad Al Maqdisiy, berkata Abu Syaamah dalam “Al Baa`its” : hal. 33 : “Saya berkata : Abu Muhammad ini perkiraan saya adalah `Abdul `Aziz bin Ahmad bin `Abdu `Umar bin Ibraahim Al Maqdisiy, telah meriwayatkan darinya Makkiy bin `Abdus Salam Ar Rumailiy As Syahiid, disifatkan dia sebagai As Syaikh yang dipercaya, Allahu A`lam.” Berkata dia: tidak pernah sama sekali dikalangan kami di Baitul Maqdis ini diamalkan sholat Ar Raghaaib, yaitu sholat yang dilaksanakan di bulan Rajab dan Sya`ban. Inilah bid`ah yang pertama kali muncul di sisi kami pada tahun 448 H, dimana ketika itu datang ke tempat kami di Baitil Maqdis seorang laki laki dari Naabilis dikenal dengan nama Ibnu Abil Hamraa`, suaranya sangat bagus sekali dalam membaca Al Quran, pada malam pertengahan (malam keenam belas) di bulan Sya`ban dia mendirikan sholat di Al Masjidil Aqsha dan sholat di belakangnya satu orang, lalu bergabung dengan orang ketiga dan keempat, tidaklah dia menamatkan bacaan Al Quran kecuali telah sholat bersamanya jama`ah yang banyak sekali, kemudian pada tahun selanjutnya, banyak sekali manusia sholat bersamanya, setelah itu menyebarlah di sekitar Al Masjidil Aqsha sholat tersebut, terus menyebar dan masuk ke rumah rumah manusia lainnya, kemudian tetaplah pada zaman itu diamalkan sholat tersebut yang seolah olah sudah menjadi satu sunnah di kalangan masyarakat sampai pada hari kita ini. Dikatakan kepada laki laki yang pertama kali mengada-adakan sholat itu setelah dia meninggalkannya, sesungguhnya kami melihat kamu mendirikan sholat ini dengan jama`ah. Dia menjawab dengan mudah : “Saya akan minta ampun kepada Allah Ta`ala.”

Kemudian berkata Abu Syaamah : “Adapun sholat Rajab, tidak muncul di sisi kami di Baitul Maqdis kecuali setelah tahun 480 H, kami tidak pernah melihat dan mendengarnya sebelum ini.” (Al Baa`itsu : hal. 32-33).

Fatwa Ibnu As Sholaah tentang sholat Ar Raghaaib, Malam Nishfu Sya`ban

3. Sholat Al Alfiah.
Sesungguhnya As Syaikh Taqiyuddin Ibnu As Sholaah rahimahullah Ta`ala pernah dimintai fatwa tentang hal ini, lalu beliau menjawab :
“Adapun tentang sholat yang dikenal dengan sholat Ar Raghaaib adalah bid`ah, hadits yang diriwayatkan tentangnya adalah palsu, dan tidaklah sholat ini dikenal kecuali setelah tahun 400 H, tidak ada keutamaan malamnya dari malam malam yang lainnya. Lihat Hadist hadist ini dalam kitab yang disebutkan di atas hal. 100-101, dan hal. 439-440.

Diterjemahkan dari kitab Al Fawaaid Al Majmu`ah, Al Ahadiits Al Maudhu`ah, karya Syaikhul Islam Muhammad Bin `Ali As Syaukaniy (Wafat : 1250 H)


(Dikutip dari website http://thullabul-ilmiy.or.id/modules/news/artikel.php?storyid=3, judul asli “Hadist-Hadist Palsu Mengenai Keutamaan Bulan Rajab.”, diterjemahkan oleh Al Ustadz Abu Al Mundzir As Salafiy.)

Sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=976